Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hamka: Menjadi Adicerita Indonesia karena Membaca (Bagian III - Habis)

Masa-masa di penjara yang mengharuskan dia terpisah dari anak dan istrinya adalah saat-saat yang tepat untuk merampungkan penulisan tafsir.

Baca artikel sebelumnya: Hamka: Menjadi Adicerita Indonesia karena Membaca (Bagian II)

Di dalam penjara, Hamka memiliki banyak waktu dan polisi membolehkan dia membawa buku-bukunya ke kamar tahanan.

Di penjara Hamka menjalani rutinitasnya dengan disiplin menulis dan belajar: menyusun tafsir pada pagi hari, membaca pada siang sampai sore hari, mengaji antara waktu Maghrib dan Isya, dan tafakur serta shalat malam pada malam hari.

Hamka mengakui bahwa andai dia tidak ditahan selama dua tahun lebih, mungkin dia tak bakalan menyelesaikan tafsirnya sampai akhir hayatnya.

Untuk menghibur dirinya dalam penjara, Hamka membaca cerita riwayat Ibnu Taimiyah, ahli fiqih mazhab Hambali yang dipenjara bertahun-tahun di Damsyik di bawah kekuasaan Mamluk karena pandangan antipemerintahnya dan jiwanya tidak bisa dibeli oleh penguasa.

Jenazahnya diiringi dari penjara ke kuburan oleh banyak orang. Sebagaimana Ibnu Taimiyah, dan seperti itu pula yang Hamka impikan terjadi pada dirinya.

Dalam sejarah banyak orang besar yang menghasilkan karya besarnya di penjara, seperti Sayid Quthub—yang Hamka sendiri mengaguminya karena cintanya terhadap Islam—yang menyelesaikan Tafsir Fi zilalil Qur’an, sebelum dihukum gantung oleh rezim Gamal Abel Nasser sahabat dekatnya sendiri.

Sukarno dengan Indonesia Menggugat, Hatta dengan bukunya Alam Pikiran Yunani, Malcolm X menjadi seorang intelektual karena belajar di dalam penjara.

Pramoedya Ananta Toer, musuh ideologi Hamka, membuat masterpisnya berupa serial tetralogi novel sejarah Pulau Buru—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—semuanya ditulis di pembuangan.

Keluasan bacaan Hamka terutama bisa dilihat dari kolom rutin “Tasauf Modern”, yang dia bahasakan bukan dengan bahasa kaum filsuf yang rumit, akan tetapi dengan bahasa yang sederhana yang orang tidak tamat SD pun dapat memahaminya.

Makanya tidak heran apabila Hamka memiliki pembaca dari berbagai macam golongan masyarakat mulai dari yang terdidik sampai rakyat jelata, asalkan sudah dapat membaca.

Dalam kolom tersebut Hamka menjelajahi masalah kebahagiaan dengan banyak memperkenalkan pemikiran para filsuf klasik seperti Aristoteles, pemikir-pemikir besar seperti al-Ghazali Ibnu Arabi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan al-Junaid sampai kepada para pemikir Islam modernis terutama dari Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.

Dia juga mendalami pemikiran dari kelompok pergerakan Sayid Quthub dan juga para pemikir Barat kontemporer.

Tulisannya bukan berupa pendapat yang mendalam dan argumentatif secara khusus, akan tetap melahirkan wacana yang meluas, mungkin ini karena dia seorang otodidak sehingga kaya akan dimensi dan ilustrasi dari pengalaman, pemikiran, dan penderitaannya sendiri.

Tentu saja semua itu dia bingkai dengan rujukan dari sumber utama, yaitu Al-Quran dan Hadits. Ramuan filsafat, agama, sastra tasawuf, dan sejarah menyatu dalam tulisan-tulisannya.

Hamka adalah seorang ulama yang berpikiran bebas dan juga membebaskan umat supaya berpikir bebas.

Pada zamannya, dan saya kira juga sampai hari ini, banyak orang yang dianggap ulama kemudian memonopoli ilmu dan mengklaim dirinya paling tahu soal agama dan terkadang dianggap paling dekat dengan Tuhan sehingga banyak umat atau orang awam mengikuti pendapat mereka secara membabi buta, tanpa mempertanyakannya.

Dalam bahasa Arab sikap seperti itu disebut dengan taklid. Bagi Hamka taklid adalah kesalahan besar.

Hamka menganalogikan ulama-ulama yang mengajarkan taklid dengan keledai yang mengangkut kitab tanpa mengerti isinya atau tanpa mengerti bahwa yang diangkutnya adalah kitab.

Dia juga menyindir umat yang tidak mau bertanya dengan sebutan “Pak Taklid” atau “Pak Turut”.

Dengan mengutip sabda Nabi, Hamka mengatakan bahwa kebodohan adalah “perbudakan yang lebih kejam dari segala macam perbudakan.”

Hamka sangat mengagumi pemikiran Ibnu Taimiyah yang mengilhami pemahaman keagamaan modern yang rasional yang mengajarkan bahwa supaya Islam bangkit kembali, Muslim harus menjadi seorang rasionalis yang mengerahkan akal yang diberikan oleh Allah.

Sang otodidak tanpa sertifikat atau ijazah formal yang dimilikinya telah melahirkan begitu banyak karya. Namanya diabadikan dalam sebuah universitas, Universitas Prof. Dr. Hamka dan pesantren sebagai bentuk penghargaan kepadanya.

Dan yang paling penting adalah namanya akan abadi dalam sanubari bangsa Indonesia yang rindu akan pembaharuan dan kebesaran bangsa.

Setelah menetap di Jakarta dan memiliki pekerjaan tetap, Hamka memiliki kebiasaan datang ke kantor pagi-pagi sekali, menulis pada tengah hari.

Dia menghadap mesin ketik dengan tumpukan sumber referensi terpercaya di sekelilingnya, lalu mengetik dengan cepat menggunakan empat jari, karena Hamka belajar mengetik juga dengan otodidak.

Dia memiliki keahlian menulis dengan cepat yang tentu saja sangat menunjang produktivitasnya. Semua dia pelajari secara otodidak alias belajar sendiri dengan instrumen utamanya, yaitu membaca.

Hamka adalah manusia pembaca sepanjang hayatnya. Karena pada hakikatnya membaca buku adalah belajar dari seorang guru yang tidak hadir secara fisik.

Termasuk dalam masalah mengetik tadi, Hamka tak pernah belajar mengetik menggunakan lebih dari empat jari.

Karena mengetik sudah menjadi karakternya, maka selama bertahun-tahun dia punya kebiasaan mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di meja, sandaran kursi, dan (yang membuat istrinya jengkel) piring makan—seolah sedang mengetik.

Rusydi mengatakan bahwa pada saat terakhir kehidupan ayahnya, jari-jari Hamka tak pernah berhenti mengetik.

Karena luas pengetahuannya bisa dikatakan Hamka adalah seorang versatilis, yaitu orang yang memiliki banyak pengetahuan dan mendalam akan tetapi bukan generalis maupun spesialis atau ilmuwan.

Hamka bukanlah sejarawan karena bukan sarjana sejarah, akan tetapi dia mampu membuat buku sejarah yang monumental, tentu saja dengan mengandalkan karya orang lain.

Walapun bukan ilmuwan, akan tetapi dia adalah seorang peneliti dan pembaca yang rajin, dengan kemampuan yang luar biasa untuk melakukan sintesis dan penulis narasi popular.

Dalam buku Sejarah Umat Islam, dia mengatakan bahwa referensi yang digunakan untuk menyusun bukunya itu berjumlah ratusan.

Selain membaca buku-buku tarikh pada zamannya Hamka juga menelusuri sejarah jauh ke masa lalu dengan membaca buku Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Tahfat al-Nafis, dan sumber-sumber Melayu klasik lainnya, juga kronik sejarah dari Jawa.

Dari hasil analisis dan pemikirannya yang kritis, Hamka memperingatkan bahwa sumber-sumber primer itu penuh mitos dan dongeng.

Secara objektif dia merasa berutang budi kepada para sarjana Belanda dan Inggris atas penelitian mendalam mereka mengenai masa awal Islam di Indonesia, walau hasil mereka juga cacat karena bias kolonial.

Untuk melengkapi sumber-sumber itu, dalam berbagai perjalanan dia mengumpulkan banyak bahan sejarah langka dari orang-orang tua yang dia temui dan sultan-sultan yang memperlihatkan naskah warisan yang dia salin.

Kata penulis biografinya, James R. Rush, mengapa dia tertarik untuk menulis biografi Hamka di antaranya karena novel dan cerpen sederhana karya Hamka dapat menghidupkan Indonesia atau setidaknya bagian-bagian tertentu dalam sejarah Indonesia.

Di bagian lain dia pun mengagumi Hamka karena “akal budi Hamka seperti buku terbuka.” Hamka menjadi juru cerita utama generasi mereka, pencipta narasi besar atau adicerita (great story) yang menurut perumusan Robert Berkhofer menafsir masa lalu, menata masa kini, dan memperkirakan masa depan.

Selagi Hamka menulis sepanjang hidupnya, dua gagasan kuat itu, kemerdekaan Indonesia dan kebangkitan kembali Islam, berpadu menjadi narasi utama dalam tulisannya. Perpaduan itu menjadi Adicerita Hamka: Islam untuk Indonesia.

Dalam biografinya, Rush membahas panjang lebar ambisi besar Hamka sebagai penulis. Para penulis Indonesia adalah pelopor, meletakkan fondasi zaman ketika buta huruf telah dibasmi dan pencetakan buku telah jutaan.

Politikus membuat struktur negara, tapi para penulislah yang mengisinya dengan keindahan dan perasaan dan gagasan. Mereka tumbuh menurut pertumbuhan bangsanya sendiri.

Hamka memandang dirinya sendiri bukan sebagai penulis biasa, melainkan penulis besar, seorang pujangga, yang mendaki ke puncak seni dan filsafat dan agama.

“Saya ingin jadi Hamka di Indonesia, sebagaimana Tagore di India atau Iqbal di Pakisktan,” katanya.

Salah satu dasar perjuangan Hamka sehingga menjadikannya gigih dalam menjalankan hidup dan perjuangan adalah karena Hamka tidak tamat sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah agama. Hamka merasa malu tidak punya diploma.

Hamka harus mengejar ketertinggalan itu dengan belajar sendiri! Dan Hamka harus berani menghadapinya. Dan instrumen utama bagi seorang otodidak adalah m-e-m-b-a-c-a !

https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/07/171313579/hamka-menjadi-adicerita-indonesia-karena-membaca-bagian-iii-habis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke