SALAH satu warisan berharga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah pemikirannya tentang kenegaraan di dalam Islam. Warisan ini mencerminkan corak utama politik Islam di Indonesia, yang membuat negara Indonesia sah, terutama di hadapan hukum Islam.
Meskipun Gus Dur merupakan sarjana Sastra Arab jebolan Universitas Baghdad, namun beliau juga seorang ahli filsafat hukum Islam (ushul fiqh). Di Pesantren Ciganjur asuhan beliau, Gus Dur dua kali mengampu kitab babon ushul fiqh, yakni al-Risalah karya Imam Syafi’i, dan al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali.
Ketika membahas al-Mustashfa, Gus Dur menyatakan, banyak sarjana Barat yang salah memahami Al-Ghazali dan rasionalitas dalam Islam. Sebab menurut beliau, Al-Ghazali bukanlah pemadam rasionalitas Islam melalui tasawufnya, akan tetapi justru penghidup rasionalitas Islam melalui ushul fiqh.
Baca juga: Belajar Kearifan Islam dari Gus Dur dan Cak Nur
Gus Dur sendiri menempatkan ushul fiqh sebagai mahkota rasionalitas dalam peradaban Islam.
Bagaimana peran ushul fiqh dalam pemikiran kenegaraan Gus Dur? Inilah yang menjadi titik fokus tulisan ini. Sebuah titik yang jarang terbaca oleh publik, karena pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur terbatas pada “ranting”, bukan “akar” dan metodologinya.
Untuk menerapkan ushul fiqh dalam pemikiran kenegaraan, Gus Dur melakukan dua hal. Pertama, perluasan sumber bagi penerapan hukum Islam (istinbath tathbiqi). Artinya, sumber penerapan hukum yang secara konvensional mengacu pada Al Quran, hadis, ijma' dan qiyas, diperluas pada prinsip kemaslahatan (mashlahah), tradisi (‘urf), dan kebaikan (istihsan).
Melalui perluasan itu, maka pijakan bagi penerapan hukum Islam tidak hanya hal-hal yang bersifat keagamaan, tetapi juga hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Tentu, hal-hal manusiawi ini tidak bertentangan dengan teks suci (nash) meskipun secara tekstual tidak ditulis di Kitab Suci.
Penerapan Islam berdasarkan sumber yang diperluas inilah yang membuatnya mengagas pribumisasi Islam, yakni kontekstualisasi Islam melalui pengembangan aplikasi nash. Prinsipnya justru menggunakan pendekatan kebudayaan, ketika Islam bertemu (bersitegang) dengan budaya.
Bagaimana ini bisa terjadi? Karena dalam ushul fiqh, tradisi (‘urf) bisa menjadi pijakan bagi perumusan dan penerapan hukum Islam. Ini yang membuat Gus Dur sering mewacanakan kaidah fikih: al-‘adah al-muhakkamah (adat bisa menjadi landasan hukum Islam).
Seperti diketahui, gagasan pribumisasi Islam menjadi tandingan utama bagi wacana dan gerakan arabisasi Islam di Indonesia. Dalam kaitan ini, Gus Dur tidak hanya meramu hubungan yuridis antara syariah dan adat, tetapi juga menjalin hubungan filosofis antara agama dan budaya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.