KOMPAS.com - Sanering adalah kebijakan pemotongan nilai uang pada saat inflasi.
Contoh sanering yaitu dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 menjadi Rp 50.
Tujuan sanering adalah untuk menekan laju inflasi yang semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan dari perdagangan.
Apabila menelusuri sejarah, Indonesia pernah menerapkan kebijakan sanering beberapa kali.
Lantas, kapan saja pemerintah Indonesia melakukan sanering?
Baca juga: Sejarah Perkembangan Sistem Ekonomi Indonesia
Kata sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti pembersihan, penyehatan, atau reorganisasi.
Dalam konteks ilmu moneter, sanering adalah kebijakan pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga di pasar, sehingga daya beli masyarakat menjadi turun.
Contohnya adalah, nilai uang Rp 100.000 dipotong nilainya menjadi Rp 100.
Jumlah barang yang dibeli dengan uang baru akan lebih sedikit dibandingkan dengan uang lama.
Apabila sebelumnya Rp 100.000 bisa dapat satu baju, maka setelah dilakukan sanering, Rp 100.000 hanya bernilai Rp 100 dan tidak dapat digunakan untuk membeli baju.
Kebijakan ini sangat menyakitkan, karena uang yang dipegang masyarakat secara otomatis nilainya berkurang drastis.
Namun, sanering biasa ditempuh jika tingkat inflasi telah mencapai di atas 100 persen setahun atau hiperinflasi.
Baca juga: Gerakan Ekonomi Assaat dan Kegagalannya
Salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk membenahi kondisi ekonomi pada masa awal kemerdekaan Indonesia adalah dengan sanering.
Pemerintah Indonesia tercatat beberapa kali menerapkan kebijakan sanering, sebagai berikut.
Kebijakan sanering oleh Pemerintah Indonesia pertama kali dilakukan pada 19 Maret 1950.
Penyebab dilakukannya kebijakan sanering saat itu adalah situasi perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melonjak tajam.