Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP)

Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Staf Ahli MPR RI. Mantan Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018). Penulis buku; (1) Islam dan Pancasila, Perspektif Maqashid Syariah Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD (2022).  (2) Pancasila versus Khilafah (2021), (3) Pancasila, Pemikiran Bung Karno (2020), (4) Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (2018), (5) Falsafah Kebudayaan Pancasila (2016), serta beberapa buku lain bertema kebangsaan, Islam dan kebudayaan.

Keberagaman Penamaan BPUPK/BPUPKI oleh Para Perumus Pancasila

Kompas.com - 24/08/2022, 10:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH Reformasi, terdapat gagasan yang disepakati oleh banyak pihak, bahwa nama lembaga penyelidikan persiapan kemerdekaan Indonesia, yakni Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI, harus dibaca tanpa huruf “I”, menjadi BPUPK.

Hal ini digagas oleh ahli hukum tata negara Universitas Indonesia (UI), almarhum Dr RM AB Kusuma, dalam buku, Lahirnya UUD 1945, Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan (2016).

Tulisan ini ingin mengimbangi kesimpulan yang disampaikan AB Kusuma tersebut, dengan inti imbangan sebagai berikut: bahwa sebagai terjemahan dari nama asli lembaga dalam bahasa Jepang, yakni Dokuritsu Zyunbi Tyosakai (DZT), BPUPKI terbuka bagi proses penerjemahan, baik diterjemahkan dengan istilah BPUPK atau BPUPKI. Artinya, tidak ada keharusan transliterasi untuk menjadikan BPUPK sebagai satu-satunya penerjemahan dari nama DZT.

Baca juga: Sejarah BPUPKI: Tujuan, Tugas, Anggota, dan Hasil Sidangnya

Alasannya adalah keberagaman nama penerjemahan yang dilakukan lembaga BPUPKI/BPUPK sendiri, serta para pelaku sejarah BPUPKI/BPUPK, yakni para pendiri bangsa, pimpinan dan anggota BPUPKI/BPUPK, perumus Pancasila.

Argumen kontekstual

Keberatan AB Kusuma terkait penyebutan nama lembaga tersebut adalah keberadaan kata Indonesia di dalam BPUPK. Alasannya, karena BPUPK yang bersidang di Jakarta bukanlah BPUPK seluruh Indonesia, melainkan hanya BPUPK wilayah Jawa-Madura, mewakili wilayah kekuasaan Jawa-Madura.

Pada 25 Juli 1945, pemerintah Jepang juga membentuk BPUPK Sumatera yang belum sempat bersidang. Sedangkan di wilayah Indonesia Timur belum sempat dibentuk BPUPK.

Keharusan ketiadaan kata Indonesia dalam BPUPK, menurut AB Kusuma juga disebabkan oleh pembentuk lembaga itu, yakni pemerintah Jepang, bukan tokoh-tokoh Indonesia.

Sayangnya, gagasan yang telah dianut secara nasional ini, hanya Kusuma jelaskan dalam bentuk catatan kaki (footnote) satu paragraf, tanpa disertai referensi. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan Kusuma hanyalah penafsiran yang tidak dibangun secara serius berdasarkan standar akademik yang ketat. (Kusuma, 2016: 1)

Dalam kaitan itu, argumentasi Kusuma di atas bisa dikritik. Yakni, meskipun tidak mewakili seluruh wilayah Indonesia, namun bukankah keanggotaan BPUPKI merepresentasikan keindonesiaan, baik pada sisi asal daerah, ras dan suku, agama dan ideologi?

Di dalam BPUPKI terdapat Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin dari Sumatera Barat, AA Maramis (Manado) dan Johannes Latuharhary (Maluku) dari Indonesia Timur, serta Soekarno, Kiai Wahid Hasyim, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Jawa Timur dan Jawa Tengah?

Etnisitas dan agama para pendiri bangsa tersebut juga beragam mewakili keberagaman seluruh Indonesia. Terjadinya keberatan dari wilayah Indonesia Timur terhadap Piagam Jakarta misalnya, menunjukkan cakupan BPUPKI juga mencakup pula Indonesia Timur.

Dengan demikian, representasi wilayah BPUPKI yang hanya mewakili wilayah kekuasaan Jepang di Jawa-Madura tidak menggugurkan fakta bahwa lembaga BPUPKI tersebut mewakili Indonesia, keindonesiaan dan satu-satunya BPUPKI di Indonesia yang bersidang. Hal ini disebabkan oleh lembaga BPUPK-Sumatera yang tidak melakukan persidangan.

Pada sisi lain, jika AB Kusuma menolak kata Indonesia dalam BPUPKI, karena nama asli lembaga tersebut, yakni Dokuritsu Zyunbi Tysosakai, tidak terdapat kata Indonesia; maka bagaimana dengan nama asli lembaga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yakni Dokuritsu Zyunbi Inkai (DZI)?

Bukankah dalam nama asli bahasa Jepang tersebut tidak terdapat kata Indonesia? Lalu kenapa diimbuhi kata Indonesia? Jika sama-sama merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, mengapa penerjemahan DZT tidak bisa menambah kata Indonesia (hanya BPUPK), sedangkan untuk DZI bisa menambahkan kata Indonesia (PPKI)?

Atas kritik ini, biasa dijawab: menjelang PPKI, Indonesia sudah merdeka, sehingga negara Indonesia sudah eksis. Oleh karenanya, untuk penerjemahan nama DZI, boleh menjadi PPKI, bukan PPK. Sedangkan di era sidang BPUPK, belum lahir Indonesia.

Pertanyaannya, benarkah di sidang BPUPKI belum terdapat Indonesia? Bukankah baik di sidang pertama (29 Mei-1 Juni 1945), maupun sidang kedua (10-17 Juli 1945), telah terdapat berbagai gagasan tentang dasar negara Indonesia, Pancasila, dan konstitusi Indonesia, termasuk rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang akan disahkan oleh PPKI?

Bukankah nama Indonesia begitu sering terdengar di sidang-sidang tersebut? Memang secara formal, Indonesia baru lahir setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, namun bukankah gagasan dan rancangan, baik dasar negara Pancasila maupun UUD, merupakan dasar negara dan konstitusi negara Indonesia?!

Beragam penerjemahan

Selain berbagai argumentasi yang bersifat kontekstual di atas, penamaan BPUPK atau BPUPKI juga didasarkan pada keberagaman penamaan oleh para pendiri bangsa, anggota BPUPKI.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com