Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Keberagaman Penamaan BPUPK/BPUPKI oleh Para Perumus Pancasila

Hal ini digagas oleh ahli hukum tata negara Universitas Indonesia (UI), almarhum Dr RM AB Kusuma, dalam buku, Lahirnya UUD 1945, Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan (2016).

Tulisan ini ingin mengimbangi kesimpulan yang disampaikan AB Kusuma tersebut, dengan inti imbangan sebagai berikut: bahwa sebagai terjemahan dari nama asli lembaga dalam bahasa Jepang, yakni Dokuritsu Zyunbi Tyosakai (DZT), BPUPKI terbuka bagi proses penerjemahan, baik diterjemahkan dengan istilah BPUPK atau BPUPKI. Artinya, tidak ada keharusan transliterasi untuk menjadikan BPUPK sebagai satu-satunya penerjemahan dari nama DZT.

Alasannya adalah keberagaman nama penerjemahan yang dilakukan lembaga BPUPKI/BPUPK sendiri, serta para pelaku sejarah BPUPKI/BPUPK, yakni para pendiri bangsa, pimpinan dan anggota BPUPKI/BPUPK, perumus Pancasila.

Argumen kontekstual

Keberatan AB Kusuma terkait penyebutan nama lembaga tersebut adalah keberadaan kata Indonesia di dalam BPUPK. Alasannya, karena BPUPK yang bersidang di Jakarta bukanlah BPUPK seluruh Indonesia, melainkan hanya BPUPK wilayah Jawa-Madura, mewakili wilayah kekuasaan Jawa-Madura.

Pada 25 Juli 1945, pemerintah Jepang juga membentuk BPUPK Sumatera yang belum sempat bersidang. Sedangkan di wilayah Indonesia Timur belum sempat dibentuk BPUPK.

Keharusan ketiadaan kata Indonesia dalam BPUPK, menurut AB Kusuma juga disebabkan oleh pembentuk lembaga itu, yakni pemerintah Jepang, bukan tokoh-tokoh Indonesia.

Sayangnya, gagasan yang telah dianut secara nasional ini, hanya Kusuma jelaskan dalam bentuk catatan kaki (footnote) satu paragraf, tanpa disertai referensi. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan Kusuma hanyalah penafsiran yang tidak dibangun secara serius berdasarkan standar akademik yang ketat. (Kusuma, 2016: 1)

Dalam kaitan itu, argumentasi Kusuma di atas bisa dikritik. Yakni, meskipun tidak mewakili seluruh wilayah Indonesia, namun bukankah keanggotaan BPUPKI merepresentasikan keindonesiaan, baik pada sisi asal daerah, ras dan suku, agama dan ideologi?

Di dalam BPUPKI terdapat Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin dari Sumatera Barat, AA Maramis (Manado) dan Johannes Latuharhary (Maluku) dari Indonesia Timur, serta Soekarno, Kiai Wahid Hasyim, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Jawa Timur dan Jawa Tengah?

Etnisitas dan agama para pendiri bangsa tersebut juga beragam mewakili keberagaman seluruh Indonesia. Terjadinya keberatan dari wilayah Indonesia Timur terhadap Piagam Jakarta misalnya, menunjukkan cakupan BPUPKI juga mencakup pula Indonesia Timur.

Dengan demikian, representasi wilayah BPUPKI yang hanya mewakili wilayah kekuasaan Jepang di Jawa-Madura tidak menggugurkan fakta bahwa lembaga BPUPKI tersebut mewakili Indonesia, keindonesiaan dan satu-satunya BPUPKI di Indonesia yang bersidang. Hal ini disebabkan oleh lembaga BPUPK-Sumatera yang tidak melakukan persidangan.

Pada sisi lain, jika AB Kusuma menolak kata Indonesia dalam BPUPKI, karena nama asli lembaga tersebut, yakni Dokuritsu Zyunbi Tysosakai, tidak terdapat kata Indonesia; maka bagaimana dengan nama asli lembaga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yakni Dokuritsu Zyunbi Inkai (DZI)?

Bukankah dalam nama asli bahasa Jepang tersebut tidak terdapat kata Indonesia? Lalu kenapa diimbuhi kata Indonesia? Jika sama-sama merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, mengapa penerjemahan DZT tidak bisa menambah kata Indonesia (hanya BPUPK), sedangkan untuk DZI bisa menambahkan kata Indonesia (PPKI)?

Atas kritik ini, biasa dijawab: menjelang PPKI, Indonesia sudah merdeka, sehingga negara Indonesia sudah eksis. Oleh karenanya, untuk penerjemahan nama DZI, boleh menjadi PPKI, bukan PPK. Sedangkan di era sidang BPUPK, belum lahir Indonesia.

Pertanyaannya, benarkah di sidang BPUPKI belum terdapat Indonesia? Bukankah baik di sidang pertama (29 Mei-1 Juni 1945), maupun sidang kedua (10-17 Juli 1945), telah terdapat berbagai gagasan tentang dasar negara Indonesia, Pancasila, dan konstitusi Indonesia, termasuk rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang akan disahkan oleh PPKI?

Bukankah nama Indonesia begitu sering terdengar di sidang-sidang tersebut? Memang secara formal, Indonesia baru lahir setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, namun bukankah gagasan dan rancangan, baik dasar negara Pancasila maupun UUD, merupakan dasar negara dan konstitusi negara Indonesia?!

Beragam penerjemahan

Selain berbagai argumentasi yang bersifat kontekstual di atas, penamaan BPUPK atau BPUPKI juga didasarkan pada keberagaman penamaan oleh para pendiri bangsa, anggota BPUPKI.

Memang dalam hal ini, terdapat lampiran salinan peta tempat duduk persidangan BPUPKI yang dimuat oleh buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, terbitan Sekretariat Negara RI (1995). Dalam peta tersebut, nama lembaga BPUPKI ditulis dengan nama Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan, sebagai terjemahan dari Dokuritsu Zyunbi Tysosakai.

Jika nama ini disingkat dalam ejaan baru, menjadi BMUPK (Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan). Kependekan ini tentu berberda dengan BPUPKI atau BPUPK yang disepakati hingga saat ini.

Pertanyaannya, jika memang nama lembaga tersebut seperti itu, kenapa kita tidak memakai kependekan BMUPK, bukan BPUPK?

Persoalannya, baik pimpinan maupun anggota BPUPKI tidak memiliki keseragaman nama-terjemahan bagi DZT.

Soekarno dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Kecil, ketika melaporkan perumusan Piagam Jakarta dalam sidang kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 menyebut lembaga tersebut dengan dua istilah, yakni Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1995: 89).

Akan tetapi dalam pernyataan setelahnya menyebutnya dengan nama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Indonesia Merdeka (BPUPIM). Penyebutan BPUPIM ini Soekarno lakukan dua kali dalam sidang kedua BPUPKI tersebut. Berikut pernyataannya.

“Seluruh dunia telah mengetahui bahwa Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Indonesia Merdeka telah bersidang.” (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1995: 90)

Dalam pernyataan selanjutnya, Soekarno menyebut dengan nama sama:

“Sidang yang kedua ini hendaknya sidang yang terakhir daripada Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Indonesia Merdeka..” (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1995: 94). Dalam dua penyebutan itu, Soekarno menyematkan nama Indonesia di dalamnya.

Berbeda dengan laporan di sidang kedua, di sidang pertama, ketika mengusulkan Pancasila, Soekarno hanya menyebut nama lembaga tersebut dengan nama Jepang-nya, DZT (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1995: 63).

Soal Soekarno menyebut nama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Indonesia Merdeka, juga terdapat dalam buku AB Kusuma, Lahirnya UUD (2016: 209). Hal tersebut juga terdapat dalam buku Naskah Persiapan UUD 1945 suntingan Mr. Muhammad Yamin (1959: 149). Buku Naskah Persiapan UUD merupakan buku pertama penerbitan risalah sidang BPUPKI-PPKI.

Selain keberagaman nama-terjemahan selama persidangan BPUPKI, terdapat pula penyebutan oleh anggota BPUPKI pasca-kemerdekaan. Keberagaman penamaan ini terdapat dalam beberapa karya tentang Pancasila oleh para perumus Pancasila.

Misalnya oleh Panitia Lima dimana tiga antaranya merupakan mantan anggota BPUPKI, yakni Bung Hatta, AA Maramis dan Achmad Soebardjo, serta AG Pringgodigdo, mantan Wakil Kepala Tata Usaha BPUPKI, dan Sunario, aktivis pergerakan nasional.

Dalam bukunya, Uraian Pancasila, Panitia Lima menjelaskan dialektika pemikiran anggota BPUPKI dalam persidangan BPUPKI. Mereka menyebut lembaga tersebut dengan nama Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) (Panitia Lima, 1977: 15).

Penyebutan seperti ini diulangi pada halaman 25 buku tersebut. Penyebutan Panitia Lima ini tanpa disertai kata “Persiapan”, sehingga kependekannya menjadi BPUKI, bukan BPUPKI. Dalam penamaan ini, mantan anggota BPUPKI tersebut menyematkan nama Indonesia dalam BPUKI.

Jika penyebutan nama ini bertentangan dengan nama resmi BPUPKI, maka ia akan ditolak oleh anggota Panitia Lima yang merupakan mantan Wakil Kepala TU BPUPKI, AG Pringgodigdo, mengingat soal nama lembaga merupakan otoritas administratif bidang Tata Usaha.

Faktanya, Pringgodigdo terlibat dalam penulisan nama BPUKI tersebut. Apalagi AG Pringgodigdo juga merupakan koordinator notulensi sidang BPUPKI yang tentunya mengetahui persoalan administratif, seperti nama lembaga BPUPK/BPUPKI.

Keberagaman nama ini juga digunakan oleh Bung Hatta dalam karya individualnya, Pengertian Pancasila (1977) yang menyebut nama lembaga tersebut, Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (PPUPK) (Hatta, 1977: 9 dan 12).

Dalam surat wasiatnya kepada Goentoer Soekarno Putra pada 1978, untuk menjelaskan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, Bung Hatta menggunakan nama lain, yakni Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (PPUKI) (Hatta, 1977: 101).

Baik dalam rekomendasi Uraian Pancasila dan Pengertian Pancasila, Panitia Lima dan Bung Hatta tidak menggunakan kata “Persiapan”. Satu kesempatan tidak menggunakan nama Indonesia, kesempatan lain menggunakan Indonesia.

Keberagaman nama dari BPUPKI juga dikembangkan oleh Muhammad Yamin dalam buku Naskah Persiapan UUD 1945 yang merupakan penerbitan pertama kali salinan risalah sidang BPUPKI-PPKI. Dalam kata pengantar buku tersebut, Yamin menyebutnya dengan nama Panitia Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sedangkan untuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tetap disebut dengan nama sama (Yamin, 1959: 10).

Meskipun dalam buku itu, Yamin memanipulasi notulensi pidatonya pada 29 Mei 1945, namun penamaan soal BPUPKI bisa kita jadikan tambahan referensi.

Penerjemahan cair

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka terdapat keberagaman dalam penamaan-penerjemahan lembaga Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.

Pertama, Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BMUPK). Nama ini tertera dalam salinan peta tempat duduk persidangan BPUPKI.

Kedua, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), disampaikan Soekarno pada sidang kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945.

Ketiga, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Indonesia Merdeka (BPUPIM), disampaikan Soekarno pada sidang kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945.

Keempat, Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI), tanpa kata “Persiapan”, disampaikan oleh Panitia Lima dalam buku Uraian Pancasila (1977).

Kelima, Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (PPUPK), disampaikan Bung Hatta dalam buku Pengertian Pancasila (1977). Di sini, mulai digunakan kata Panitia, bukan Badan.

Keenam, Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (PPUKI), disampaikan Bung Hatta dalam surat wasiat kepada Goentoer Soekarno Putra pada tahun 1978.

Ketujuh, Panitia Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), disampaikan Muhammad Yamin dalam buku Naskah Persiapan UUD (1959).

Berdasarkan keragaman penerjemahan nama Dokurtitsu Zyunbi Tyosakai ini, maka menurut hemat penulis, tidak ada kepastian penerjamahan nama yang resmi. Sebab inti dari lembaga tersebut adalah “badan penyelidikan” yang bertugas menyelidiki (meneliti) hal-hal yang diperlukan bagi pendirian negara.

Badan penyelidikan dibedakan dengan “badan persiapan” kemerdekaan, yakni PPKI yang bertugas mengesahkan hal-hal yang diselidiki badan penyelidik, dalam hal ini dasar negara dan konstitusi. Jika penamaan BMUPK merupakan nama resmi BPUPKI, hal tersebut juga berbeda dengan BPUPK.

Jika BMUPK merupakan nama resmi, maka Wakil Kepala TU BPUPKI, AG Pringgodigdo yang memahami soal administrasi, tentu mencegah penamaan Panitia Lima yang menggunakan nama BPUKI.

Penerjemahan yang cair terhadap nama Jepang dari lembaga tersebut akhirnya membuat Sekretariat Negara RI menyebut lembaga tersebut dengan nama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang terbit sejak 1980.

Penerjemahan yang bersifat cair ini pula yang membuat penamaan-penerjemahan DZT bisa menggunakan BPUPK (tanpa Indonesia), tetapi juga bisa menggunakan BPUPKI, mengingat para anggota BPUPKI sendiri menyematkan nama Indonesia dalam penamaan mereka.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/24/102317279/keberagaman-penamaan-bpupk-bpupki-oleh-para-perumus-pancasila

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke