Secara tersirat, Kyai Modjo menilai bahwa Pangeran Diponegoro telah menyamakan pengalaman ritualnya dengan Nabi Muhammad.
Selain itu, Kyai Modjo menilai bahwa Pangeran Diponegoro mengingkari janjinya membentuk pemerintahan Islam di Pulau Jawa.
Pada 25 Oktober 1828, Kyai Modjo melakukan perundingan dengan Belanda.
Dalam perundingan tersebut, pihak Belanda meminta pendapat terkait pemberian wilayah kekuasaan terhadap Pangeran Diponegoro.
Kyai Modjo mengatakan, jika itu terjadi, maka akan disambut dengan suka cita oleh Pangeran Diponegoro.
Setelah berpisah dari kelompok Pangeran Diponegoro, Kyai Modjo fokus untuk berdakwah.
Namun, pada 12 November 1828, ketika Kyai Modjo berada di Mlangi, Sleman, ia disergap dan ditangkap oleh Belanda.
Kyai Modjo ditangkap beserta beberapa pengikutnya. Namun, Kyai Modjo meminta Belanda untuk membebaskan para pengikutnya.
Pihak Belanda pun mengabulkan permintaan Kyai Modjo untuk membebaskan pengikutnya.
Selain itu, Kyai Modjo meminta pengikutnya untuk menerima apa pun keputusan Belanda terhadap dirinya.
Pada 17 November 1828, Kyai Modjo dikirim ke Batavia untuk diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Di pengasingan, Kyai Modjo terus berusaha untuk menyebarkan agama Islam hingga ia meninggal dunia pada 20 Desember 1849.
Baca juga: Sejarah Perkembangan Sistem Ekonomi Indonesia
Referensi: