Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kyai Modjo, Jenderal dan Guru Spiritual Pangeran Diponegoro

Kompas.com - 05/08/2022, 20:00 WIB
Lukman Hadi Subroto,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kyai Modjo adalah seorang ulama dan tokoh militer kepercayaan Pangeran Diponegoro.

Kyai Modjo masih memiliki darah Keraton Yogyakarta dan berkerabat dengan Pangeran Diponegoro.

Kyai Modjo berperan dalam mengatur strategi militer melawan Belanda ketika pecah Perang Jawa (1825-1830).

Selain itu, Kyai Modjo juga menjadi guru spiritual dari Pangeran Diponegoro.

Namun, pada 1828, ia berpisah dengan Pangeran Diponegoro karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.

Baca juga: Biografi Singkat Teungku Peukan, Tokoh Perlawanan Aceh

Kehidupan awal

Kyai Modjo lahir di Surakarta pada 1792. Ia merupakan anak dari Iman Abdul Ngarip dan R.A. Mursilah.

Ayah Kyai Modjo merupakan ulama besar yang dikenal dengan nama Kiai Baderan. Orangtuanya adalah keturunan darah biru atau bangsawan.

Meski keturunan bangsawan, Kyai Modjo tidak pernah berada di dalam lingkungan keraton.

Secara silsilah, Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro memiliki ikatan kekerabatan.

Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir.

Sementara itu, Kyai Modjo merupakan keponakan dari Sultan Hamengkubuwana III. Jadi, Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo adalah saudara sepupu.

Meski demikian, Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Modjo dengan panggilan paman.

Pendidikan Kyai Modjo

Sejak kecil, Kyai Modjo yang berasal dari keluarga ulama, sudah diberikan pendidikan agama Islam.

Bahkan ketika ilmu pengetahuan Islamnya sudah cukup, Kyai Modjo berangkat menunaikan ibadah haji dan sempat tinggal di kota Mekkah.

Setelah pulang dari Mekkah, Kyai Modjo melanjutkan peran ayahnya dengan berdakwah Islam.

Selain itu, ayahnya yang memiliki pondok pesantren juga dikelola oleh Kyai Modjo hingga memiliki banyak pengikut.

Bersama pengikutnya, Kyai Modjo menggalang gerakan antipemurtadan yang marak di kalangan bangsawan keraton.

Ia memiliki cita-cita akan munculnya pemerintahan Islam yang menguasai Pulau Jawa.

Terlibat Perang Jawa

Pada 1925, ketika Pangeran Diponegoro terlibat konflik dengan pemerintah kolonial Belanda, Kyai Modjo turut membantu.

Ia bergabung dan membantu Pangeran Diponegoro sejak hari pertama pasukan Pangeran Diponegoro tiba di Gua Selarong.

Di Gua Selarong, Kyai Modjo dan Pangeran Diponegoro bermusyawarah untuk menjalankan siasat perang gerilya melawan Belanda.

Selain itu, Kyai Modjo berperan menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten.

Sejak bergabung dengan Pangeran Diponegoro, Kyai Modjo berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh, termasuk 88 orang kiai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain), 15 orang guru mengaji, dan puluhan orang ulama.

Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, dan Ponorogo.

Selain itu, Kyai Modjo mengubah stigma Belanda yang menganggap perjuangannya bersama Pangeran Diponegoro dari cap pemberontak menjadi perang suci.

Kyai Modjo menilai bahwa apa yang diperjuangkannya adalah untuk melawan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam.

Berpisah dengan Pangeran Diponegoro

Kyai Modjo bahu-membahu berjuang melawan Belanda dari 1825 hingga 1828.

Pada 1828, Kyai Modjo mulai tidak sepaham dengan Pangeran Diponegoro yang dinilai menyimpang dari Islam.

Baca juga: Sejarah dan Hakikat Otonomi Daerah di Indonesia

Kyai Modjo berpendapat bahwa Pangeran Diponegoro menggunakan legitimasi konsep Ratu Adil atau juru selamat dalam kampanye merekrut pasukan.

Selain itu, Pangeran Diponegoro mengaku memperoleh tugas suci dari Tuhan yang didapatnya saat bersemedi.

Secara tersirat, Kyai Modjo menilai bahwa Pangeran Diponegoro telah menyamakan pengalaman ritualnya dengan Nabi Muhammad.

Selain itu, Kyai Modjo menilai bahwa Pangeran Diponegoro mengingkari janjinya membentuk pemerintahan Islam di Pulau Jawa.

Pada 25 Oktober 1828, Kyai Modjo melakukan perundingan dengan Belanda.

Dalam perundingan tersebut, pihak Belanda meminta pendapat terkait pemberian wilayah kekuasaan terhadap Pangeran Diponegoro.

Kyai Modjo mengatakan, jika itu terjadi, maka akan disambut dengan suka cita oleh Pangeran Diponegoro.

Meninggal dunia

Setelah berpisah dari kelompok Pangeran Diponegoro, Kyai Modjo fokus untuk berdakwah.

Namun, pada 12 November 1828, ketika Kyai Modjo berada di Mlangi, Sleman, ia disergap dan ditangkap oleh Belanda.

Kyai Modjo ditangkap beserta beberapa pengikutnya. Namun, Kyai Modjo meminta Belanda untuk membebaskan para pengikutnya.

Pihak Belanda pun mengabulkan permintaan Kyai Modjo untuk membebaskan pengikutnya.

Selain itu, Kyai Modjo meminta pengikutnya untuk menerima apa pun keputusan Belanda terhadap dirinya.

Pada 17 November 1828, Kyai Modjo dikirim ke Batavia untuk diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.

Di pengasingan, Kyai Modjo terus berusaha untuk menyebarkan agama Islam hingga ia meninggal dunia pada 20 Desember 1849.

Baca juga: Sejarah Perkembangan Sistem Ekonomi Indonesia

Referensi:

  • Mardiono, Peri. (2020). Melacak Gerakan Perlawana dan Laku Spiritual Pangeran Diponegoro. Yogyakarta: Araska.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com