Indonesia juga harus memperbolehkan perusahaan Belanda kembali beroperasi dan diharapkan konsultasi kepada Belanda apabila akan mengeluarkan kebijakan.
Selain itu, Indonesia menanggung biaya 17.000 karyawan eks Belanda selama dua tahun dan menampung 26.000 mantan tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).
Dari berbagai kesepakatan KMB, permasalahan utang Belanda menjadi persoalan yang sangat menyulitkan bagi Indonesia.
Pasalnya, berbagai permasalahan ekonomi dalam negeri saja belum selesai, dan masih dihadapkan dengan pembayaran utang Belanda yang besar.
Baca juga: Utang Luar Negeri Indonesia di Era Soekarno
Awalnya, Indonesia menggunakan strategi tambal-sulam dalam membayar utang Belanda melalui uang pinjaman dari negara Blok Timur.
Akan tetapi, semakin lama tidak berjalan baik dan membuat perekonomian Indonesia tidak stabil.
Oleh sebab itu, Presiden Soekarno kemudian bermanuver dengan mengabaikan utang Belanda yang dibebankan kepada Indonesia.
Permasalahan ini kemudian sampai ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menyerukan Indonesia dan Belanda untuk kembali berunding.
Sikap PBB tersebut membuat Presiden Soekarno kecewa, yang kemudian menantang dengan mengkampanyekan nasionalisasi aset-aset Belanda.
Nasionalisasi yang dikampanyekan Bung Karno berhasil membuat pemodal Belanda kabur dari Indonesia.
Baca juga: Een Eereschuld, Utang yang Harus Dibayar
Dalam kesepakatan KMB, Belanda tidak menganggap bahwa Irian Barat adalah bagian dari wilayah yang harus diserahkan ke Indonesia.
Sebaliknya, Presiden Soekarno menginginkan Irian Barat bergabung ke dalam Indonesia.
Belanda memiliki argumen bahwa perbedaan etnis dan ras menjadi dasar Irian Barat didudukinya dan tidak diserahkan kepada Indonesia.
Oleh karena itu, wilayah Irian Barat ingin dijadikan negara di bawah naungan Kerajaan Belanda.
Masalah Irian Barat pun menjadi sengketa, dan di dalam KMB dijelaskan bahwa akan dibahas dalam waktu satu tahun.