KOMPAS.com - Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah Sultan Yogyakarta kesembilan yang berperan besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Pasalnya, ia memiliki peran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan integrasi bangsa.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan maklumat 5 September 1945 dan membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah di Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia yang pernah menempati jabatan penting di pemerintahan.
Seperti contohnya, ia merupakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pertama setelah kemerdekaan, Wakil Presiden Indonesia kedua periode 1973-1978, dan menjabat sebagai menteri negara selama beberapa periode.
Baca juga: Amanat 5 September 1945: Bergabungnya Yogyakarta dengan NKRI
Sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Ngasem, Yogyakarta, pada 12 April 1912 dengan nama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun.
Ia merupakan putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah.
Ketika baru berusia dua tahun, Dorodjatun menyandang status sebagai Putra Mahkota Yogyakarta. Kemudian, di usia empat tahun, ia telah dididik untuk tinggal terpisah dari keraton.
Dorodjatun tinggal bersama keluarga Belanda, Mulder, yang menjabat sebagai kepala sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School di daerah Gondokusuman.
Selama tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun dipanggil dengan nama Henkie, yang diambil dari nama Pangeran Belanda, Hendrik.
Nama Henkie terus melekat padanya sampai ia sekolah dan kuliah di Belanda.
Baca juga: Hoogere Burgerschool (HBS), Sekolah Menengah Umum Hindia Belanda
Dorodjatun menempuh pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School dan Eerste Europeesche Lagere School B.
Setahun setelahnya, ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan sekolah di Neutrale Europeesche Lagere School.
Setelah lulus pada 1925, Dorodjatun melanjutkan ke sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang.
Sewaktu sekolah di HBS, ia tinggal bersama keluarga sipir penjara Semarang, Voskuil. Namun karena merasa tidak cocok dengan lingkungannya, ia pindah ke HBS Bandung pada 1928.
Di Bandung, Dorodjatun tinggal bersama tentara militer Belanda, Letkol De Boer. Namun, sebelum pendidikannya selesai, ia diminta oleh sang ayah untuk belajar ke Belanda.
Ia pun berangkat pada Maret 1930 dengan didampingi oleh keluarga Hofland, seorang direktur pabrik gula.
Baca juga: Sri Sultan Hamengkubuwono I, Pendiri Kesultanan Yogyakarta
Sesampainya di Belanda, Dorodjatun sekolah di dua lembaga yang berbeda, yakni HBS B dan Stedelijk Gymnasium.
Setelah lulus pada 1934, ia pindah ke Leiden dan masuk ke Universitas Leiden mengambil studi Indologi, yakni studi tentang administrasi kolonial, etnologi, dan kesusastraan di Hindia Belanda.
Belum sempat menyelesaikan tugas akhirnya, Dorodjatun dipanggil untuk kembali ke Indonesia pada 1939.
Sesampainya di Batavia pada Oktober 1939, Dorodjatun dijemput oleh keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ia menginap di Hotel Des Indes karena dijadwalkan menghadiri acara makan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama keluarganya.
Baca juga: Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono II
Saat sedang bersiap, sang ayah menyematkan Keris Kiai Jaka Piturun kepadanya, yang menjadi penanda bahwa ia merupakan pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.
Setelah tiga hari di Batavia, Dorodjatun dan keluarganya kembali ke Yogyakarta. Dalam perjalanan, tiba-tiba Sri Sultan Hamengkubuwono VIII jatuh sakit dan tidak sadarkan diri.
Pada 22 Oktober 1939, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII meninggal dunia, dan takhta Kesultanan Yogyakarta pun jatuh ke tangan Dorodjatun.
Dorodjatun dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta kesembilan pada 18 Maret 1940 dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Ia menyandang dua gelar sekaligus, yakni Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram dan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.
Baca juga: Asal-usul Nama Yogyakarta
Sewaktu Jepang menduduki Indonesia, banyak penduduk pribumi yang diambil untuk menjadi tenaga kerja paksa (romusha).
Untuk melindungi rakyatnya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengajukan pembangunan kanal irigasi yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak kepada Jepang.
Usulan itu diterima oleh Jepang, sehingga masyarakat Yogyakarta fokus mengerjakan pembangunan kanal irigasi dan terhindar dari romusha.
Kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan beberapa reformasi di kesultanan. Misalnya, pada Juli 1942, ia mengubah nama-nama institusi pemerintahan daerah yang sebelumnya menggunakan bahasa Belanda menjadi bahasa Jawa.
Dua tahun setelahnya, sultan juga membuat layanan publik yang bisa diakses oleh siapa saja.
Baca juga: Sri Sultan Hamengkubuwono III: Masa Pemerintahan dan Peninggalannya
Sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada awal kemerdekaan Republik Indonesia adalah mendukung penuh NKRI.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan Amanat 5 September 1945 dan membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah di Yogyakarta.
Lewat Amanat 5 September 1945, sultan menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta masuk dalam NKRI.
Pemerintah pusat menerima dengan baik amanat tersebut, yang kemudian mengirim Mr. Sartono dan Mr. A.A Maramis ke Yogyakarta untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta yang telah ditandatangani oleh Soekarno pada 19 Agustus 1945.
Baca juga: Mengapa Ibu Kota Indonesia Pernah Dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta?
Pada 4 April 1946, ibu kota Indonesia sempat dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakara karena situasi Jakarta yang sangat tidak aman setelah kedatangan Sekutu.
Melihat kondisi di Jakarta yang sedang tidak aman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII mengirimkan sebuah surat pada 2 Januari 1946.
Isi dari surat itu adalah apabila pemerintah RI bersedia, mereka bisa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta hingga kondisi aman kembali.
Tawaran itu pun disambut baik oleh Presiden Soekarno, yang kemudian memindahkan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta.
Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota, sultan melakukan beberapa perubahan, salah satunya menetapkan semua bisnis resmi memberlakukan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa.
Sultan juga memberikan sebagian dari keraton untuk dibangun Universitas Gadjah Mada (UGM).
Baca juga: Hamengkubuwono IV, Sultan Termuda Yogyakarta
Setelah itu, pada masa kabinet Sjahrir III, untuk pertama kalinya Sutan menjadi salah satu anggota kabinet. Ia diangkat menjadi Menteri Negara pada 1947.
Tanggung jawab Menteri Negara terus ia emban pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II, hingga masa kabinet Hatta I.
Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan berlanjut ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II di Yogyakarta pada 19 September 1948.
Sultan mengerahkan seluruh usahanya untuk mempertahankan Yogyakarta dengan memerintahkan agar semua gerbang keraton segera ditutup, sehingga tidak ada orang Belanda yang bisa masuk.
Namun, pada Januari 1949, Sultan memutukan untuk mundur dari jabatannya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pertama.
Baca juga: Serangan Umum 1 Maret 1949: Latar Belakang, Aksi, dan Dampak
Karena kondisi perang yang berkepanjangan, sultan mengusulkan kepada Jenderal Sudirman untuk melancarkan sebuah serangan agar dunia tahu bahwa Republik Indonesia masih ada.
Seteah itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengadakan pertemuan rahasia dengan Letkol Soeharto guna merencanakan serangan, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret.
Usai serangan, sultan sempat menduga bahwa dirinya pasti dilengserkan dan ditangkap oleh Belanda.
Namun, ia selamat setelah dilindungi oleh Jenderal Meijer, Komandan Jenderal Jawa Tengah.
Baca juga: Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono, Mangkunegara, Apa Bedanya?
Menjelang 1960-an, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang telah aktif dalam kegiatan kepanduan sejak muda, menjadi Pandu Agung atau pemimpin kepanduan.
Pada 1961, ketika banyak organisasi kepanduan akan dijadikan dalam satu wadah, Soekarno kerap berkonsultasi kepada sultan.
Akhirnya, pada 9 Maret 1961, Soekarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka, di mana Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi salah satu pengurusnya.
Pada 14 Agustus 1961, dilakukan penganugerahan panji kepramukaan, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pramuka.
Setelah itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama empat periode berturut-turut, yakni 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia kedua periode 1973-1978.
Baca juga: Sejarah Pramuka Indonesia
Pada 14 September 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menghadiri acara Pageralan Kesenian Mataram di Kyoto, Jepang, didampingi oleh Pangeran Mangkubumi.
Setelah itu, ia lanjut ke Washington DC karena telah dijadwalkan melakukan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Walter Reed.
Namun, pada 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dinyatakan meninggal setelah muntah-muntah di kamar hotelnya.
Jasadnya kemudian dibawa pulang ke Yogyakarta dan disemayamkan di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pada 7 Oktober 1988.
Berkat semua jasanya bagi bangsa Indonesia, pemerintah telah menobatkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pahlawan nasional.
Referensi: