KOMPAS.com - Sri Susuhunan Pakubuwono V adalah raja Kasunanan Surakarta keempat yang bertakhta antara 1820-1823.
Meski masa kekuasaannya cukup singkat, periode pemerintahannya menciptakan salah satu karya terbesar dalam sejarah Sastra Jawa Baru, yaitu Serat Centhini.
Ide dan gagasan Pakubuwono V pun hingga kini masih dikenang oleh masyarakatnya.
Pakubuwono V lahir di Surakarta pada 13 Desember 1784 dengan nama Raden Mas Sugandi.
Ia adalah putra Pakubuwono IV dan permaisuri KRAy. Handoyo, putri Adipati Cakraningrat dari Madura.
Sebelum menggantikan ayahnya, Raden Mas Sugandi diangkat menjadi putra mahkota bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara Ing Surakarta.
Ketika masih menjadi putra mahkota inilah, Adipati Anom memerintahkan pujangga keraton untuk menuliskan pengalaman pribadinya dalam Suluk Tembang Raras-Amongraga.
Pada 1820, Adipati Anom akhirnya naik takhta dan memakai gelar Sri Susuhunan Pakubuwono V.
Baca juga: Sri Susuhunan Pakubuwono IX: Biografi dan Karya-karyanya
Para pujangga yang diperintah Pakubuwono V untuk menggubah Serat Centhini adalah Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Yosodipuro II, Raden Ngabehi Sastradipura.
Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga diberi tugas untuk mengumpulkan bahan-bahan rujukan.
Ranggasutrasna ditugaskan menjelajahi wilayah Jawa bagian timur, Sastranegara menjelajah Jawa bagian barat, sementara Sastradipura ditugaskan ke Mekah untuk memperdalam agama Islam.
Serat Centhini atau Suluk Tembangraras-Amongraga mulai ditulis pada 1814, enam tahun sebelum Pakbuwono V naik takhta menggantikan ayahnya.
Karya sastra ini dapat dikatakan sebagai induk pengetahuan mengenai dunia dalam masyarakat Jawa, yang meliputi persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, pertanian, adat istiadat, bahkan primbon.
Selain menjadi penggerak penyusunan Serat Centhini, Pakubuwono V juga pernah membuat keris pusaka.
Baca juga: Sri Susuhunan Pakubuwono VIII, Raja Monogami Pertama dari Mataram
Konon, keris yang dinamai Kyai Kaget ini terbuat dari pecahan meriam "Kyai Guntur Geni" milik Pemerintah Belanda saat terjadinya Geger Pacinan (1740-1743).
Meski pemerintahannya hanya berlangsung tiga tahun, ide dan gagasan Pakubuwono V masih dikenang hingga kini.
Pakubuwono V wafat pada 5 September 1823, dan setelah itu dimakamkan di Imogiri, Yogyakarta.
Referensi: