Hanya kaisar yang keturunan Dewa Matahari saja yang boleh memiliki rambut.
Pada awal kemerdekaan kegiatan perploncoan tetap terjadi. Salah satunya di lingkungan Universitas Indonesia pada tahun 1949.
Pada masa itu kegiatan penggemblengan melalui plonco menciptakan ikatan batin dan rasa setia kawan, meskipun dalam suasana kemelut.
Setelah banyaknya dibuka sekolah tinggi pada tahun 1950-an, kegiatan plonco tetap terjadi. Prakteknya berupa dibentak dan diperintah oleh seniornya.
Namun dalam perkembangannya, perploncoan saat itu tidak mengacu pada penggundulan kepala bagi mahasiwa baru.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan plonco adalah mahasiswa yang sedang mengikuti kegiatan pengenalan kampus.
Selain itu, plonco sering digunakan untuk menyebut orang baru yang belum memiliki pengalaman.
Kata plonco lebih sering digunakan untuk menggambarkan proses penyesuaian diri orang baru dengan menuruti perintah dari orang lama.
Praktek perploncoan ini sempat ditentang oleh Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). CGMI merupakan organisasi mahasiswa yang sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
CGMI dan PKI bersama-sama menolak kegiatan plonco karena dianggap sebagai warisan dari Belanda dan Jepang.
Referensi: