KOMPAS.com - Candrasa adalah hasil kebudayaan zaman logam yang tergolong ke dalam kapak corong, tetapi panjang satu sisinya.
Di Indonesia, keterangan pertama tentang kapak yang terbuat dari perunggu diberikan oleh Rumphius pada awal abad ke-18.
Sejak pertengahan abad ke-19, mulailah dilakukan pengumpulan dan pencatatan asal-usulnya oleh Koninklijk Bataviaasch Genootschap atau lembaga kebudayaan masa kolonial.
Kemudian, penelitian kapak perunggu ditingkatkan ke arah tipologi dan uraian tentang distribusi serta konsep religius berdasarkan bentuk dan pola hiasnya.
Secara tipologi, kapak perunggu dapat dibagi ke dalam beberapa golongan, salah satunya adalah candrasa.
Candrasa berfungsi sebagai tanda kebesaran dan alat upacara saja. Hal ini dapat dilihat dari bentuknya yang indah serta dilengkapi dengan hiasan.
Oleh karena itu, benda ini tidak mungkin digunakan oleh manusia purba sebagai alat untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berdasarkan fungsinya, beberapa ahli menggolongkan candrasa ke dalam kapak upacara.
Sebab, candrasa hanya digunakan untuk melakukan ritual adat yang berhubungan dengan aliran kepercayaan masyarakatnya.
Baca juga: Zaman Logam: Pembagian dan Peninggalan
Candrasa memiliki ciri-ciri bertangkai pendek dan melebar pada pangkalnya. Sementara pada bagian mata kapak cenderung tipis, dengan kedua ujungnya melebar dan melengkung ke arah dalam.
Pelebaran ini tidak sama, sehingga membentuk bidang mata yang asimetris. Ukuran candrasa sangat besar dan pipih, di mana yang terbesar memiliki lebar tajaman 133,7 cm dan yang terkecil 37 cm.
Kapak ini terkadang dihias dengan pola burung berparuh runcing dan kakinya digambarkan mencengkeram sebuah candrasa berukuran kecil.
Pada bagian tangkainya, umumnya dihias dengan pola-pola geometris berupa pilin, garis-garis, dan tangga.
Di Indonesia, candrasa ditemukan di Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pulau Roti di daerah Nusa Tenggara.
Referensi: