Kemudian, tahun 1974, ia mendatangi Nasution dan Sarwo Edhie Wibowo, dua jenderal yang membantu Soeharto mendapatkan kekuasaan.
Ia mengatakan kekecewaannya terhadap rezim yang berlangsung saat itu.
Tanggal 14 Januari 1974, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka tiba di Jakarta untuk berkunjung.
Kunjungan Tanaka ini memberikan kesempatan ideal bagi mereka yang kritis untuk memprotes dan mengungkapkan ketidakpuasan mereka.
Namun, pada 15 dan 16 Januari, protes berubah menjadi kekerasan yang disebut Insiden Malari.
Dalam insiden Malari sebanyak 11 orang tewas, 300 luka-luka, dan 775 orang ditangkap.
Setelah Tanaka pergi, Soemitro segera mengambil tindakan dan memburu senat mahasiswa Universitas Indonesia.
Sayangnya, tindakan Soemitro tidak berpengaruh, karena ia telah dianggap sebagai seseorang yang membiarkan gerakan protes lepas kendali.
Tidak lama setelah Peristiwa Malari, Soemitro memutuskan undur diri dari Komando Kopkamtib dan Wakil Panglima ABRI.
Soemitro sempat ditawarkan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat oleh Soeharto, tetapi ia menolak.
Baca juga: Operasi Trikora, Upaya Indonesia Merebut Irian Barat
Soemitro lebih memilih pensiun dari kehidupan militernya. Ia menghabiskan masa tuanya dengan kerap bermain golf.
Tahun 1979, ia menjadi pengusaha dengan mendirikan Group Rigunas dan berperan sebagai komisaris.
Soemitro wafat di Jakarta pada 10 Mei 1998.
Referensi: