Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tindakan PBB dalam Menanggapi Agresi Militer Belanda di Indonesia

Indonesia resmi menjadi anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950.

Sebelum resmi menjadi anggotanya, PBB telah aktif mendukung Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.

Sebagai organisasi terbesar di dunia, PBB memang dapat mengambil sikap dan tindakan terhadap berbagai permasalahan di dunia internasional.

Demi menjaga perdamaian dunia, PBB menyediakan forum untuk mengekspresikan pandangan negara melalui Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Hak Azasi Manusia, dan badan-badan serta komite-komite di dalam lingkup PBB.

Salah satu dukungan PBB terlihat ketika terjadi Agresi Militer Belanda di Indonesia.

Lantas, bagaimana tindakan atau sikap PBB terhadap konflik antara Belanda dengan Indonesia pada masa Agresi Militer Belanda?

Tindakan PBB saat Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I dilancarkan mulai 21 Juli 1947, sebagai langkah Belanda untuk kembali menduduki Indonesia.

Pada 31 Juli 1947, India dan Australia mengajukan masalah Indonesia-Belanda untuk dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan (DK) PBB.

Tindakan PBB setelah Belanda melancarkan Agresi Militer I langsung dimulai pada 1 Agustus 1947.

Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi terhadap konflik Indonesia-Belanda pada tanggal 1 Agustus 1947 yang mengajak kedua pihak bertikai untuk menghentikan tembak-menembak dan menyelesaikan masalah melalui arbitrase atau cara damai yang lain.

Menindaklanjuti ajakan itu, Sutan Sjahrir ditunjuk Presiden Soekarno menjadi juru bicara di sidang Dewan Keamanan PBB pada 14 Agustus 1947.

Dalam sidang tersebut, Sutan Sjahrir menyampaikan usul agar Belanda menarik pasukannya dari Indonesia.

Menurutnya, perundingan akan sulit dilakukan apabila salah satu pihak masih menodongkan senjata.

Kemudian, pada 25 Agustus 1947, DK PBB menerima usulan Amerika Serikat untuk membentuk Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Office) guna membantu menyelesaikan masalah Indonesia-Belanda.

Komisi itu kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri atas:

  • Australia diwakili Richard C. Kirby (atas pilihan Indonesia)
  • Belgia diwakili Paul Van Zeeland (atas pilihan Belanda)
  • Amerika Serikat diwakili Dr. Frank Porter Graham (atas pilihan Australia dan Belgia)

Komisi Tiga Negara membawa Indonesia dan Belanda ke Perundingan Renville yang secara resmi mengakhiri Agresi Militer Belanda I.

Tindakan PBB saat Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda kembali dilancarkan pada 19 Desember 1948.

Lagi-lagi, PBB merupakan organisasi internasional yang dijadikan forum memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia.

Sebagai lembaga yang netral, PBB dianggap sebagai sarana paling tepat untuk menghimpun dukungan internasional terhadap kedaulatan Indonesia.

Salah satu tindakan Dewan Keamanan PBB dalam menanggapi Agresi Militer II Belanda di Indonesia adalah menuntut Belanda untuk memulangkan pemimpin RI kembali ke Yogyakarta.

Saat Agresi Militer Belanda II meletus, para petinggi Indonesia, termasuk Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan beberapa tokoh lainnya diasingkan ke luar Jawa.

Setelah Agresi Militer Belanda II, Dewan Keamanan PBB kembali membentuk resolusi yang disampaikan pada 28 Januari 1949 dengan isi sebagai berikut:

Selain itu, langkah yang diambil PBB untuk menyikapi Agresi Militer Belanda II bagi Indonesia adalah membentuk UNCI (United Nations Commission for Indonesia) atau Komisi PBB untuk Indonesia.

Dengan kekuasaan lebih besar dari KTN, UNCI berhasil mempertemukan Indonesia dan Belanda dalam Perundingan Roem Royen yang secara resmi mengakhiri Agresi Militer Belanda II.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/13/160000979/tindakan-pbb-dalam-menanggapi-agresi-militer-belanda-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke