Di Rusia, anak-anak putus sekolah dan bergabung ke dalam tentara. Mereka bertugas hingga ke garis depan. Disadur dari Russia Beyond, anak-anak melakukan tugas sebagai pengintai di wilayah musuh, karena lebih kecil kemungkinan mereka dicurigai melakukan spionase.
Selain mengintai, mereka juga dilatih untuk melumpuhkan senjata artileri Jerman, membawa peluru ke unit yang memerlukan, merawat tentara yang terluka, hingga melakukan penyergapan musuh dengan menenteng senjata api.
Perang merusak mental para tentara dewasa, membuat mereka mengembangkan gangguan psikologis akibat kecemasan dan ketakutan yang luar biasa. Perang juga memengaruhi psikis anak-anak secara lebih buruk.
Ada seorang anak mantan tentara bernama Vasily Speransky yang dikirim ke garis depan perperang pada umur 14 tahun. Setelah perang usai dan kembali ke sekolah, Speransky membuat masalah hingga menewaskan kepala sekolahnya sendiri yang telah mendisiplinkannya.
Baca juga: Dampak Perang Dunia I bagi Indonesia di Berbagai Bidang
Inggris juga merekrut anak-anak dibawah umur untuk turun ke garis depan medan perang. Dikutio dari BBC, sebanyak 250 ribu anak laki-laki di bawah usia 18 tahun bergabung ke dalam tentara dengan berbagai motif.
Dari mulai rasa patriotisme terhadap negara, lari dari keluarga, mengharapkan petualangan, hingga desakan masyarakat yang menganggapnya pengecut jika tidak ikut perang. Namun yang pasti, anak-anak tersebut menderita syok dan gangguan stress akibat trauma pasca tempur.
Anak-anak pada Perang Dunia I kehilangan masa kecil mereka, kehilangan keluarga, kesempatan untuk belajar, juga mengalami trauma dan stress mendalam yang tidak bisa hilang selama sisa umur mereka. Penderitaan mereka menjadi salah satu bukti bahwa perang tidak boleh lagi terjadi dikemudian hari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.