KOMPAS.com - Periode Pujangga Baru muncul setelah periode Balai Pustaka. Sebutan Pujangga Baru berawal dari sebuah majalah sastra dan budaya "Poedjangga Baroe" yang terbit 29 Juli 1933.
Menurut Andri Wicaksono dalam Pengkajian Prosa Fiksi (2017), Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Karya-karya sastra angkatan Pujangga Baru antara lain:
Novel Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisyahbana
Novel ini mengangkat cerita tentang kakak beradik, Maria dan Tuti. Keduanya merupakan perempuan berpendidikan, mandiri, dan masing-masing memiliki karakter yang kuat. Suatu hari di pasar ikan, mereka bertemu dengan Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran di Jakarta.
Mulailah kisah cinta antara ketiga tokoh tersebut. Meski ceritanya romantis, Sutan Takdir juga menyelipkan mengenai emansipasi perempuan dalam novelnya. Ia mengungkapkan bagaimana perempuan dapat menjadi sosok yang berpendidikan.
Baca juga: Karya-Karya Sastra Angkatan 50
Novel Belenggu (1940) Armijn Pane
Novel ini sempat ditawarkan pada penerbit Balai Pustaka. Namun ditolak karena mengangkat tema perselingkuhan, yang saat itu dianggap porno dan tidak pantas.
Ceritanya mengenai sepasang suami istri bernama Sumartini dan Sukartono. Mereka menikah tanpa rasa cinta, hanya didasari ketertarikan intelektual dan fisik semata.
Drama Sandyakala Ning Majapahit (1938) karya Sanusi Pane
Drama ini bercerita tentang kisah romantis dengan latar di lereng Gunung Wilis. Tokoh utamanya adalah Dandang Gendis (Kertajaya) dan Dewi Amisani. Sanusi Pane mengenas kisah tersebut dengan ciri khasnya.
Dandang Gendis menyamakan nirwana sebagai kekasih. Hal tersebut dianggap tak lazim karena umumnya orang memperdalam kebatinan dan ketuhanan melalui buku atau mencari guru. Drama ini dimuat pertama kali pada bulan Desember 1938, di majalah Poedjangga Baroe, Tahun VI, No.3.