Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sastra Melayu Rendah, Karya Tionghoa di Indonesia

Kompas.com - 18/12/2020, 15:32 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sastra Melayu rendah merupakan karya sastra dengan bahasa Melayu rendah. Istilah Melayu rendah sendiri dicetuskan pada periode Balai Pustaka.

Balai Pustaka ialah penerbit yang dipelopori Belanda. Belanda melakukan sensor terhadap setiap terbitan. Maka, bahan bacaan dan karya sastra yang terbit selain dari Balai Pustaka disebut sastra liar.

Andri Wicaksono dalam Pengkajian Prosa Fiksi (2017) mengungkapkan, sastra liar seperti yang dimaksud oleh Balanda pada masa tersebut adalah karya-karya sastra yang ditulis peranakan Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu rendah.

Orang Tionghoa merupakan perantau yang menjadi kaum minoritas. Mereka tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, hidup berdampingan, juga menikah dengan orang lokal. Bahasa yang digunakan sehari-hari merupakan peralihan dan penyesuaian dengan bahasa ibu mereka. Bahasa tersebut juga mempengaruhi karya sastranya.

Dilansir dari Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid I (2002) terbitan KPG, dalam sastra mereka, yang ditulis dalam bahasaa lisan sehari-hari, terdapat juga kata-kata dalam bahasa Jawa atau dialek setempat lainnya, seperti Sundah, bahkan seringkali Belanda.

Baca juga: Periode Sastra Angkatan 50

Meski tidak dapat terbit di Balai Pustaka, peranakan Tionghoa membangun percetakan sendiri pada 1870-an. Dua karya yang mengawali masa itu, adalah Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang, dan Tjerita Oey See karya Thio Tjin Boen.

Penulis peranakan Tionghoa yang berada di wilayah Jawa antara lain Lie Kim Hok, Boen Sing Hoo, Tan Teng Kie dan Tan Hoe Lo. Sementara yang dari wilayah Sumatra yaitu Na Tian Piet.

Salah satu karya Lie Kim Hok berjudul Thjit Liap Seng yang terinspirasi oleh novel Perancis Les Tribulations d’un Chinois en Chine karya Jules Verne dan novel Belanda Klaasje Zevenster karya J. van Lennep.

Seolah ingin memperkuat kekuasaannya, Belada tidak hanya mendiskriminasi terbitan peranakan Tionghoa. Balai Pustaka menolak setiap terbitan yang memiliki nuansa kritik sosial atau yang membangkitkan semangat perlawanan masyarakat terhadap kekuasaan.

Karya-karya lain yang termasuk dalam sastra Melayu rendah misalnya Mata Gelap, Student Hijo, Syair Rempah-rempah, dan Rasa Merdeka karya Mas Marco. Ada juga Hikayat Kadiroen karya Semaun.

Dalam perkembangannya, diskriminasi dan penggolongan sastra Melayu rendah tidak hanya terjadi pada peranakan Tionghoa. Namun kepada semua sastrawan yang memunculkan semangat kebangsaan dalam karyanya.

Baca juga: Periode Sastra Pujangga Baru

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com