KOMPAS.com - Periode sastra Angkatan 50 dimulai pada 1950 sampai 1960-an. Periode ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra bertajuk Kisah Asuhan, yang dipelopori HB Jassin.
Menurut Andri Wicaksono dalam Pengkajian Prosa Fiksi (2017), dengan adanya pergantian situasi dan suasana tanah air dari perangke perdamaian, dari masa transisi penjajahan ke kemerdekaan, maka para sastrawan mulai memikirkan masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan.
Karakteristik pengkaryaan antara Angkatan 45 dan Angkatan 50 tidak jauh beda. Hanya saja pergulatan politik yang membuat pembabakan periode sastranya menjadi berbeda.
Sastrawan yang menoreh kariernya di angkatan ini antara lain Sapardi Djoko Damono, NH Dini, Budi Darma, Taufik Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, WS Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, dan sebagainya.
Angkatan 50 menjadi gambaran dunia sastra Indonesia setelah kemerdekaan. Indonesia mulai membangun pemerintahannya sendiri, lalu muncul berbagai partai politik dengan lambang kebudayaan masing-masing.
Baca juga: Periode Sastra Angkatan 45
Akibat pergolakan politik antara orde lama dan orde baru, terjadi polarisasi di antara sastrawan. Penerbit juga terkena imbas politik, sehingga sulit menerbitkan karya. Beberapa sastrawan Angkatan 50 pun menulis di majalah atau surat kabar.
Pada keadaan paling parah, sastrawan kesulitan menerbitkan karyanya. Perpecahan dan polemik berkepanjangan membuat perkembangan kesusastraan Indonesia terhenti.
Ciri-ciri karya sastra Angkatan 50 yang membedakan dengan periode lainnya adalah sebagai berikut: