Amir Sjarifuddin pernah menjadi bagian dalam Kongres Pemuda II 1928 yang belakangan dikenal sebagai Sumpah Pemuda. "Di situ Amir punya andil," kata Yunantyo.
Menjadi bendahara acara itu, Amir menjadi salah-satu wakil Jong Sumatra dan ikut membidani kelahiran organisasi Jong Batak.
Pada 1937, Amir mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang berusaha membina segenap kekuatan-kekuatan antifasis dan prodemokrasi.
Belakangan, dia mengakui menerima uang dari pemerintah Belanda pada 1941 untuk "membiayai jaringan di bawah tanah" melawan invasi fasisme dan militerisme Jepang, tulis Ben Anderson dalam buku Revoloesi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Pelawanan di Jawa 1944-1946 (1988).
Baca juga: Siapa Laksamana Maeda, Perwira Jepang yang Berperan dalam Proklamasi?
Saat Jepang masuk, awal 1943, Amir ditangkap Kempetai Jepang dan dijatuhi hukuman mati, karena dianggap mengorganisasi gerakan gawah tanah - hukuman itu tidak pernah dijalankan setelah ada intervensi Sukarno-Hatta.
Setelah dipercaya menjadi menteri dalam kabinet awal, Amir menjadi Perdana Menteri (PM) Indonesia pada 1947 dan menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perjanjian Renville — disepakati 17 Januari 1948 — yang hasilnya dianggap merugikan kedudukan Indonesia.
Lantas, Amir meletakkan jabatan, setelah sejumlah pimpinan partai menolak hasil perjanjian itu. Maka berakhirlah pemerintahan Sayap Kiri.
Sebulan kemudian lahirlah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang menjadi penentang paling keras Kabinet Hatta. Dalam organisasi FDR inilah, Amir merupakan salah-seorang pentolannya.