Perjumpaan itu mungkin akan terasa sedikit lebih menyeramkan sekaligus membuat bergidik. Reputasinya dikenal sebagai satwa yang cukup berbahaya.
Di beberapa tempat, telah menimbulkan konflik antara manusia dan satwa. Atau dengan diksi yang lebih halus, terjadi interaksi negatif yang merugikan baik dari sisi satwa maupun manusia itu sendiri.
Secara umum kejadian konflik antara satwa dan manusia bisa disebabkan oleh banyak faktor, seperti alih fungsi hutan menjadi peruntukan lain, fragmentasi habitat, keberadaan sampah domestik dan sumber pakan atraktif satwa lainnya, maupun prilaku manusia itu sendiri.
Sumber pencetusnya bisa berbeda-beda antar lokasi.
Interaksi negatif antara manusia dan satwa di IKN sebetulnya relatif cukup terbuka.
Suatu waktu, mungkin bisa saja beruang madu tiba-tiba mendekat ke perkebunan. Buaya muncul di tepi sungai. Atau, terjadi keadaan tiba-tiba hadir ular sanca, monyet beruk, atau monyet ekor panjang mendekat rumah dan kompleks perkantoran.
Baca juga: Habitat Berkurang, Kucing Merah Kalimantan Terancam Punah
Secara statistik, peluang kejadian ini mungkin terjadi karena satwa-satwa tersebut memang memiliki habitat di sekitar hutan IKN.
Pada beberapa kasus, kejadian perjumpaan telah pada tahap sampai menimbulkan korban jiwa.
Sebagai contoh, kejadian manusia dimangsa buaya yang memang pernah dilaporkan di sekitar wilayah ekosistem mangrove Teluk Balikpapan saat ini. Di wilayah lain luar Pulau Kalimantan, monyet beruk dan ekor panjang dilaporkan juga berhasil membuat heboh karena gigitan.
Menjadi agak rumit apabila jika yang muncul kemudian adalah satwa liar kharismatik dan terancam punah. Ini kadang bisa menimbulkan isu lingkungan kurang sedap.
Ambil saja contoh orangutan. Walau area deliniasi IKN tidak menjadi habitat orang utan alami, tetapi area hutan di dekatnya menjadi rumah bagi orangutan rehabilitan yang dilepasliarkan, seperti Hutan Lindung Sungai Wain dan Hutan Lindung Beratus.
Di masa depan, pergerakan orangutan sampai wilayah IKN bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Sebab, habitat orangutan tersebut memang masih terkoneksi dengan wilayah IKN saat ini.
Mitigasi konflik satwa adalah serangkaian upaya komprehensif yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi kejadian tidak diinginkan. Ini tidak hanya berbicara tentang keselamatan manusia saja tapi satwa liar juga.
Sejak awal, dari sisi regulasi, sebetulnya mitigasi telah diupayakan pemerintah melalui pengaturan tata ruang IKN dalam Perpres No. 64 tahun 2022. Tetapi, hal tersebut perlu dipertebal lagi untuk mengantisipasi variasi konflik satwa yang tidak diinginkan.
Baca juga: Mengenal Gajah Kalimantan, Fauna Endemik Indonesia yang Terancam Kritis
Saat ini, selama masa pekerjaan konstruksi, para pekerja mesti dibekali dengan panduan atau SOP yang menjadi acuan apa yang mesti dilakukan bila bertemu dengan satwa liar di lapangan.