Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Meminimasi Interaksi Negatif Satwa dan Manusia di Ibu Kota Nusantara

Oleh: Mukhlisi

IBU Kota Nusantara (IKN) secara faktual harus diakui memang berkelindan dengan hutan.

Salah satu hutan mangrove terbaik di Kalimantan Timur mudah dijumpai di sisi selatannya, terhubung dengan tipe hutan diptercoparpaceae khas kalimantan di sisi lainnya.

Sementara, area inti IKN adalah berupa hutan tanaman yang akan dikayakan.

Tidak heran jika kemudian IKN dicanangkan sebagai forest city. Bahkan, eksistensi hutan diikat lebih kuat melalui UU No. 3 tentang Ibu Kota Negara yang mengamanatkan 75 persen area adalah ruang hijau.

Jika di kalkulasi, setidaknya 192.106,5 Ha seyogyanya akan tetap menjadi ruang hijau termasuk kawasan berhutan di dalamnya.

Sebagai sebuah kota yang secara sengaja didesain dominan berhutan maka, mau tidak mau, suka tidak suka, warga IKN ke depannya harus beradaptasi dengan kehadiran satwa liar di sekelilingnya.

Sebab, mereka akan cukup mudah ditemui di antara kehidupan harian tiap warga.

Minimal, penduduk yang pindah ke IKN bakal merasakan sensasi bagaimana riuh rendahnya nyanyian burung mengiringi aktivitas bangun paginya.

Kemudian, di beberapa tempat warganya akan sayup-sayup mendengar merdunya duet owa-owa (Hylobates muelleri) saling bersahutan menjelang fajar, seolah membangunkan waktu subuh.

Jika beruntung, warga IKN bisa melihat gagahnya sekelompok burung enggang, burung sakral etnis lokal kalimantan sedang terbang.

Sementara, bagi yang sedang melintas perairan Teluk Balikpapan bisa berjumpa bekantan (Nasalis larvatus), primata endemik kalimantan berhidung panjang.

Atau jika waktunya tepat, bisa juga bertemu dengan mamalia air, seperti duyung (Dugong dugon) atau pesut (Orcaella brevirostris) yang menggemaskan.

Sekilas gambaran tersebut adalah fenomenal dan menyenangkan. Bagi penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di sekitar IKN tentu hal tersebut adalah hal biasa saja.

Tapi, bagaimana jadinya jika satwa yang muncul di sekelilingya adalah buaya muara (Crocodylus porosus), beruang madu (Helarctos malayanus), orangutan (Pongo pygmaeus), monyet beruk (Macaca nemestrina), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), ular sanca (Malayophyton reticulatus), atau malah macan dahan (Neofelis diardi)?

Perjumpaan itu mungkin akan terasa sedikit lebih menyeramkan sekaligus membuat bergidik. Reputasinya dikenal sebagai satwa yang cukup berbahaya.

Di beberapa tempat, telah menimbulkan konflik antara manusia dan satwa. Atau dengan diksi yang lebih halus, terjadi interaksi negatif yang merugikan baik dari sisi satwa maupun manusia itu sendiri.

Secara umum kejadian konflik antara satwa dan manusia bisa disebabkan oleh banyak faktor, seperti alih fungsi hutan menjadi peruntukan lain, fragmentasi habitat, keberadaan sampah domestik dan sumber pakan atraktif satwa lainnya, maupun prilaku manusia itu sendiri.

Sumber pencetusnya bisa berbeda-beda antar lokasi.

Interaksi satwa liar dan manusia

Interaksi negatif antara manusia dan satwa di IKN sebetulnya relatif cukup terbuka.

Suatu waktu, mungkin bisa saja beruang madu tiba-tiba mendekat ke perkebunan. Buaya muncul di tepi sungai. Atau, terjadi keadaan tiba-tiba hadir ular sanca, monyet beruk, atau monyet ekor panjang mendekat rumah dan kompleks perkantoran.

Secara statistik, peluang kejadian ini mungkin terjadi karena satwa-satwa tersebut memang memiliki habitat di sekitar hutan IKN.

Pada beberapa kasus, kejadian perjumpaan telah pada tahap sampai menimbulkan korban jiwa.

Sebagai contoh, kejadian manusia dimangsa buaya yang memang pernah dilaporkan di sekitar wilayah ekosistem mangrove Teluk Balikpapan saat ini. Di wilayah lain luar Pulau Kalimantan, monyet beruk dan ekor panjang dilaporkan juga berhasil membuat heboh karena gigitan.

Menjadi agak rumit apabila jika yang muncul kemudian adalah satwa liar kharismatik dan terancam punah. Ini kadang bisa menimbulkan isu lingkungan kurang sedap.

Ambil saja contoh orangutan. Walau area deliniasi IKN tidak menjadi habitat orang utan alami, tetapi area hutan di dekatnya menjadi rumah bagi orangutan rehabilitan yang dilepasliarkan, seperti Hutan Lindung Sungai Wain dan Hutan Lindung Beratus.

Di masa depan, pergerakan orangutan sampai wilayah IKN bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Sebab, habitat orangutan tersebut memang masih terkoneksi dengan wilayah IKN saat ini.

Upaya mitigasi

Mitigasi konflik satwa adalah serangkaian upaya komprehensif yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi kejadian tidak diinginkan. Ini tidak hanya berbicara tentang keselamatan manusia saja tapi satwa liar juga.

Sejak awal, dari sisi regulasi, sebetulnya mitigasi telah diupayakan pemerintah melalui pengaturan tata ruang IKN dalam Perpres No. 64 tahun 2022. Tetapi, hal tersebut perlu dipertebal lagi untuk mengantisipasi variasi konflik satwa yang tidak diinginkan.

Saat ini, selama masa pekerjaan konstruksi, para pekerja mesti dibekali dengan panduan atau SOP yang menjadi acuan apa yang mesti dilakukan bila bertemu dengan satwa liar di lapangan.

Sebagian dari pekerja berasal dari luar pulau, kultur dan aspek pemahaman terhadap jenis satwa di daerah asalnya bisa sangat berbeda.

Lebih lanjut, secara praktis pemasangan plang/himbauan terkait keberadaan satwa di sekitar proyek konstruksi dan wilayah IKN lain juga perlu dipertimbangkan.

Terkadang, tindakan sederhana tidak membuang sampah sembarangan dan tidak memberi makan satwa liar justru efektif sebagai langkah mitigasi.

Sebagian masyarakat berfikir memberi makan satwa liar yang ditemui di tepi jalan atau hutan seolah adalah tindakan terpuji dan bentuk sayang binatang. Padahal, itu justru memberi efek negatif terhadap prilaku satwa yang bisa memicu kejadian konflik tidak diinginkan di lain waktu.

Proyek infrastuktur seperti jalan raya perlu mempertimbangkan jalur pergerakan satwa berupa koridor satwa, baik artifisial maupun alami. Dalam tata ruang IKN, sebagian ruang koridor satwa telah dijanjikan dalam perencanaannya.

Terkait itu, pemetaan populasi dan kantung-kantung habitat satwa kunci sangat diperlukan. Selain itu, pengelolaan koridor sebaiknya diintegrasikan pada skala bentang alam.

Menciptakan habitat singgah di antara lanskap perkotaan sebagai batu loncatan (stepping stones) satwa juga dari bagian hal tersebut.

Secara eksisting, saat ini sebagian koridor satwa yang direncanakan dalam tata ruang IKN memiliki vegetasi homogen (Eucalyptus sp).

Oleh sebab itu, penguatan fungsi ekologi koridor habitat perlu ditingkatkan sejak awal dengan pengayaan jenis tanaman sumber pakan satwa, misalnya jenis-jenis ara/beringin (Ficus spp)., jambu-jambuan (Syzygium spp.), manggis hutan (Garcinia spp.), rambai (Baccaurea spp.), famili mendarahan (Myristicaceae), dan lain-lain.

Di saat bersamaan, pemilihan jenis pohon yang tepat di lanskap perkotaan juga bagian dari upaya mitigasi. Lebih-lebih, upaya rehabilitasi dan restorasi hutan di sekitar IKN yang tengah digencarkan pemerintah sudah selayaknya patut diapresiasi.

Mitigasi pada insiden berupa situasi interaksi yang membahayakan baik bagi manusia maupuan satwa liar itu sendiri, mungkin saja penanganannya membutuhkan tim satgas yang dibentuk secara legal.

Tim bisa bertindak sebagai satuan reaksi cepat yang dapat menangani setiap laporan terkait keberadaan satwa yang berpotensi menimbulkan situasi bahaya.

Tim tersebut diharapkan efektif menjalankan tugas dalam hal penanganan satwa di lapangan maupun proses relokasinya jika diperlukan.

Dalam jangka panjang, membangun partisipasi dan edukasi warga IKN dalam skema Citizen Science sangat layak dijalankan.

Konsep ini telah berkembang pesat di berbagai kota maju di dunia dengan melibatkan masyarakat secara aktif untuk berpartisipasi dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Apa lagi, IKN adalah kota yang sengaja dirancang sebagai kota cerdas dan futuristik.

Akhirnya, terlepas dari ada atau tidaknya IKN. Konsep berbagi ruang antara manusia dan satwa sejatinya memang harus dijalankan dalam tiap bingkai kehidupan.

Harmoni dengan alam sudah lama dicontohkan oleh nenek moyang kita melalui berbagai bentuk kearifan lokal. Satwa liar dan manusia adalah sama-sama makhluk Tuhan yang menempati ruang hidup berdampingan tanpa perlu ada konflik kepentingan.

Mukhlisi

Peneliti Ahli Madya pada Pusat Riset Zoologi Terapan - BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/03/28/130000723/meminimasi-interaksi-negatif-satwa-dan-manusia-di-ibu-kota-nusantara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke