Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Angka Kematian Kasus Tuberkulosis di Dunia Makin Meningkat Selama Pandemi, Apa Sebabnya?

Kompas.com - 30/03/2022, 21:01 WIB
Zintan Prihatini,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejak virus corona merebak dan teridentifikasi pertama kali di tahun 2019 lalu, terdapat beberapa hambatan terkait dengan pelayanan kesehatan termasuk penanganan tuberkulosis.

Pasalnya, banyak pasien yang tidak dapat mengunjungi pusat layanan kesehatan, bahkan tidak melanjutkan pengobatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa kematian akibat infeksi tuberkulosis di dunia, mengalami peningkatan sejak tahun 2020.

Keterbatasan pasien untuk mengunjungi pusat layanan kesehatan, terganggu karena adanya pembatasan sosial selama pandemi Covid-19.

Baca juga: Menkes Budi Jabarkan 3 Upaya Akhiri Tuberkulosis di Tahun 2030 dalam Presidensi G20

Dijelaskan Spesialis Paru Rumah Sakit Persahabatan dr Erlina Burhan, SpP(K), kondisi ini pada akhirnya akan meningkatkan kasus resistensi obat.

"Dalam masa pandemi, pasien TBC takut karena TBC memiliki gejala yang sama dengan Covid," ujar Erlina dalam pertemuan Health Working Group (HWG) G20 Indonesia pada Side Event Tuberkulosis, yang digelar di Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (30/3/2022).

"Selain itu beberapa permasalahan lainnya terjadi di Indonesia, seperti menurunnya pendanaan Covid-19, kualitas layanan, penurunan deteksi kasus, dan upaya surveillance (pengawasan)," sambungnya.

Direktur di Center for Global Health Science and Security Georgetown University, Rebecca Katz mengungkapkan hal yang senada dengannya. Menurut dia, pandemi yang menyita perhatian global telah memengaruhi sumber daya dalam menangani tuberkulosis.

"Entah mengapa, penyakit TB tampaknya tidak pernah menarik perhatian para pembuat kebijakan, meskipun beban yang dihasilkan dari penyakit ini sangatlah berat," ucap Katz.

Oleh karena itu, upaya 3T atau testing, tracing, dan treatment yang diterapkan selama pandemi Covid-19, sebenarnya juga dapat diaplikasikan secara masif pada wabah tuberkulosis. Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah terapi, serta pencegahan tuberkulosis.

"Kita perlu meningkatkan kolaborasi untuk mewujudkan upaya 3T yang masif ini, sebagaimana dilakukan pada Covid-19, bayangkan saja vaksin Covid hanya ditemukan dalam waktu satu tahun, sementara vaksin TB masih sangat lambat," ucap Erlina.

Belajar dari pengendalian pandemi Covid-19, kata Katz, kita dapat memanfaatkan semua teknologi yang tersedia terhadap tuberkulosis global.

Baca juga: WHO Minta Negara G20 Berinvestasi dalam Penanganan Tuberkulosis Global

 Apabila peningkatan pengetahuan serta aset untuk meningkatkan respons pada penanggulangan tuberkulosis dilakukan, maka dapat melindungi populasi paling rentan di masa depan.

"Kita juga perlu meningkatkan kapasitas untuk menangani resistensi antibiotik, dan meningkatkan keterlibatan masyarakat. Kita juga dapat meningkatkan kapasitas diagnostik untuk TB dengan meningkatkan kapasitas laboratorium," papar Katz.

Sejauh ini, lanjut Erlina, belum ada penemuan vaksin tuberkulosis baru sejak 94 tahun yang lalu. Sehingga, kolaborasi negara-negara yang tergabung dalam G20 merupakan hal yang sangat penting.

Di samping upaya penanganan tuberkulosis dari pemerintah, keterlibatan masyarakat juga dinilai perlu untuk mengakhiri penularan tuberkulosis.

Baca juga: Tuberkulosis: Gejala, Pencegahan, dan Pengobatannya

Kemudian, optimalisasi proses pengobatan serta deteksi kasus tuberkulosis resisten pun harus dilakukan sedini mungkin untuk mengurangi transmisinya.

"Saat Covid-19 meluas alat testing TBC (GeneExpert) dialihkan untuk melakukan diagnosis Covid, inilah yang memengaruhi penurunan terdeteksinya kas," terang Erlina.

Pada kesempatan tersebut, dr Erlina juga menyoroti soal TBC laten atau tuberkulosis yang tidak menunjukkan gejala. Sebab, TBC laten adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang bersembunyi dalam tubuh seseorang. Sehingga penyakit ini patut untuk diwaspadai masyarakat.

"Meskipun belum banyak orang yang fokus pada TBC laten, kita juga harus sadar bahwa TBC laten terus meningkat, sehingga diagnosanya perlu diutamakan juga," ungkapnya.

Kolaborasi pemerintah daerah, pemerintah pusat, maupun organisasi profesi harud berfokus pada langkah untuk mengeliminasi TB sesuai dengan target Sustainable Development Goals (SDGs).

"Untuk mencegah pandemi di masa akan datang, kita harus meningkatan pengelolaan kesehatan masyarakat, meningkatkan infrastruktur kesehatan dan surveillance, inovasi yang kompetitif, penelitian, penemuan obat terutama obat antivirus," jelas Erlina.

Selanjutnya, dibutuhkan pula upaya untuk meningkatkan keterlibatan pasien tuberkulosis dalam mendapatkan akses pelayanan yang lebih baik.

Pelayanan isolasi dan karantina guna mengontrol penularan penyakit perlu diterapkan di berbaga negara, khususnya negara-negara yang tergabung dalam G20.

Baca juga: Bagaimana Membedakan Batuk Tuberkulosis dengan Covid-19?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com