Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Epidermolisis Bulosa, dari Gejala hingga Penyebabnya

Kompas.com - 18/10/2021, 08:02 WIB
Zintan Prihatini,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Epidermolysis Bullosa (Epidermolisis Bulosa) atau dikenal dengan EB adalah penyakit kulit langka yang ditandai dengan kerapuhan kulit dan mukosa (kulit halus).

Penyakit Epidermolisis Bulosa dapat dipicu oleh trauma mekanik berupa gesekan kulit maupun suhu panas.

Bagi orang yang menderita epidermolisis bulosa, kulitnya mudah mengalami lepuh atau sering disebut pasien dengan kulit serapuh sayap kupu-kupu.

Meski merupakan penyakit langka, epidermolisis bulosa tidak menular. Ini karena penyebab EB adalah mutasi genetik atau faktor keturunan.

Baca juga: 7 Penyakit Kulit yang Langka, Ada yang Sebabkan Kulit Keras dan Tebal

Pada webinar yang digelar DEBRA Indonesia dalam rangka memperingati Bulan Kesadaran Epidermolisis Bulosa, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) Dr dr Niken Trisnowati, MSc, SpKK(K), FINSDV, FAADV menyebut bahwa penyakit kulit ini belum ditemukan obatnya.

"Penyakit EB terjadi di daerah perbatasan antara lapisan epidermis dan dermis," jelas dr Niken dalam keterangannya, Minggu, (17/10/2021).

Penyebab epidermolisis bulosa

Kerapuhan pada epidermolisis bulosa terjadi karena komponen berupa protein yang menyusun struktur kulit tidak utuh atau sempurna, yang disebabkan mutasi atau perubahan genetik.

Selain karena faktor keturunan, Niken menjelaskan bahwa penyakit epidermolisis bulosa juga bisa disebabkan oleh mutasi gen baru.

Pola yang diturunkan:

1. Autosomal dominan

Autosomal dominan yaitu ayah yang memiliki gen mutasi, maka kemungkinan diturunkan pada anaknya sebesar 50 persen.

Pada kondisi ini, penyakit Epidermolisis Bulosa lebih sering terjadi.

2. Autosomal resesif

Autosomal resesif adalah klinis kedua orangtua normal, namun sebagai carrier (pembawa), maka kemungkinan diturunkan pada anaknya sebesar 25 persen.

Pada kondisi ini, Epidermolisis Bulosa jarang terjadi dan biasanya gejalanya lebih berat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com