Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)

Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) adalah organ departementasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan–kebijakan Nahdlatul Ulama dalam ranah falakiyah, yaitu ilmu astronomi yang ditujukan bagi pelaksanaan aspek–aspek ibadah Umat Islam. LFNU ada di tingkat pusat (PBNU), propinsi (PWNU) hingga kabupaten / kota (PCNU). Lembaga Falakiyah PBNU berkedudukan di Gedung PBNU lantai 4, Jl. Kramat Raya no. 164 Jakarta Pusat.

Fajar Semu, Fajar Nyata, dan Waktu Subuh Indonesia (1)

Kompas.com - 05/10/2021, 19:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: KH Salam Nawawi, KH Djawahir Fahrurrazi, KH Abdul Muid Zahid, KH Muhyidin Hasan, M. Basthoni, Ismail Fahmi, Eka Puspita Arumaningtyas, Nihayatur Rohmah, Imam Qustholaani, Rukman Nugraha, Suaidi Ahadi, KH Ahmad Yazid Fattah, KH Shofiyulloh, Djamhur Effendi, Khafid, Hendro Setyanto, Ahmad Junaidi, KH Imron Ismail, Mutoha Arkanuddin, Syifaul Anam, dan Muh. Ma’rufin Sudibyo

 

Kriteria awal waktu Subuh di Indonesia tidak perlu berubah. Waktu Subuh tetap bisa dimulai manakala tinggi Matahari negatif 20º terhadap kaki langit timur, sebagaimana berlaku selama ini.

Dalam terminologi ilmu falak, waktu Subuh di Indonesia tetap dapat menerapkan sudut depresi Matahari (SDM) 20º seperti dipedomani Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama RI. Sehingga tidak perlu ada yang berubah.

Demikian pandangan Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Falakiyah PBNU, setelah melaksanakan kajian berkesinambungan dengan melibatkan para peneliti berkompeten di bidangnya. Yakni para peneliti dalam disiplin ilmu fikih dan ilmu falak.

Baca juga: Tidak Ada Perubahan Waktu Subuh

Kriteria awal waktu Subuh dengan nilai tinggi Matahari negatif 20º tetap digunakan, karena telah memiliki landasan yang kuat dari dua keilmuan tersebut.

Nilai tinggi Matahari demikian sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in, para tabi’it tabi’in, para shalafus shalih dan para auliya. Nilai tinggi Matahari tersebut juga sesuai data hasil pengamatan terkini terhadap cahaya fajar–nyata.

Dengan kajian mendalam ini, maka Umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga Nahdlatul Ulama pada khususnya dapat menjalankan ibadah salat Subuh dan puasanya dengan lebih tenang dan nyaman.

Kita tetap berpedoman pada jadwal waktu salat yang ada pada saat ini, misalnya seperti yang disusun Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama.

Dalam ungkapan Drs. KH Sirril Wafa, MA (ketua Lembaga Falakiyah PBNU), “Dengan kajian ini maka awal waktu Subuh dan juga awal puasa di Indonesia yang selama ini kita pedomani memang memiliki landasan yang kukuh. Baik dalam ilmu fikih maupun ilmu falak."

"Bahwa dalam realitas terkini Indonesia mulai terdapat perbedaan pendapat dalam awal waktu Subuh, itu harus kita hormati dan hargai. Perbedaan tersebut serupa dengan perbedaan penentuan awal Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).

Fajar–nyata dan Fajar–semu

Waktu Subuh adalah salah satu dari kelima waktu salat wajib bagi Umat Islam. Seperti halnya waktu salat lainnya, durasi waktu Subuh dikontrol oleh kedudukan Matahari.

Namun berbeda dengan awal waktu salat lainnya (kecuali Isya), maka kita tidak menyaksikan piringan Matahari secara langsung pada saat awal waktu Subuh.

Melainkan, hanya melalui berkas cahaya Matahari pertama yang menembus atmosfer Bumi dan memasuki mata kita. Itulah cahaya fajar, atau lebih spesifik lagi cahaya fajar–nyata atau fajar shadiq.

Cahaya fajar adalah semburat cahaya yang merembang di langit timur sebagai penanda fajar dan terjadi sebelum Matahari terbit.

Padanannya adalah cahaya senja, yang melaburi langit barat pasca Matahari terbenam dan menjadi penanda petang.

Cahaya fajar merupakan fenomena keplanetan dalam tata surya kita, terjadi hanya pada planet yang memiliki selimut udara cukup tebal di atas permukaannya.

Selain di Bumi, program eksplorasi antariksa juga telah mendeteksi fenomena cahaya fajar di planet Mars dan di planet–kerdil Pluto.

Baca juga: Rahasia Alam Semesta, Kenapa Langit Senja dan Fajar Berwarna Orange?

 

Dalam kajian fikih dikenal dua jenis cahaya fajar, yakni cahaya fajar–semu (fajar kadzib) dan cahaya fajar–nyata.

Cahaya fajar–semu, merupakan produk pemantulan dan hamburan sinar Matahari oleh partikulat debu antarplanet berskala nanometer hingga mikrometer di luar atmosfer Bumi.

Partikulat–partikulat tersebut berasal dari remah–remah komet maupun badai debu Mars yang terlempar ke antariksa.

Mereka membentuk struktur debu zodiak yang berbentuk pipih dan berimpit dengan ekliptika. Ilmu falak mengenal cahaya fajar–semu sebagai cahaya zodiak.

Baca juga: Mengapa Tidur Lagi Setelah Bangun Subuh Bikin Tubuh Lelah?

Untuk satu lokasi X yang betul–betul gelap dan langit yang mendukung, cahaya fajar–semu akan muncul dan merembang di atas kaki langit timur mulai dua jam sebelum Matahari terbit.

Strukturnya menyerupai segitiga raksasa dengan alas menempel ke kaki langit, sementara garis tingginya berimpit dengan kedudukan ekliptika.

Meski dapat diidentifikasi, cahaya fajar–semu bukanlah penanda awal waktu Subuh. Penanda tersebut jatuh kepada cahaya fajar–nyata sebagai produk pembiasan, hamburan, dan penyerapan sinar Matahari yang menembus atmosfer Bumi yang adalah medium optis.

Pada lokasi X tadi, cahaya fajar–nyata akan terbit sebagai titik cahaya di kaki langit pada lokasi Matahari nantinya akan terbit.

Seiring waktu, titik cahaya ini berkembang melebar ke utara dan selatan membentuk garis yang berimpit dengan kaki langit, untuk kemudian menebal ke atas.

Ada banyak banyak faktor yang mempengaruhi cahaya fajar–nyata tepat mulai muncul (terbit).

Meski secara umum, faktor–faktor demikian bisa diaproksimasi sebagai fungsi dari parameter tunggal berupa depresi Matahari dengan ketelitian memadai.

Selain sebagai penentu awal waktu Subuh, terbitnya fajar–nyata juga memiliki makna signifikan lainnya, yakni sebagai penentu awal mulai berpuasa pada hari itu.

Diskursus mengenai seberapa besar nilai sudut depresi Matahari bagi terbitnya fajar–nyata merupakan salah satu contoh perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam ilmu fikih.

Ragam pendapat sudut depresi Matahari untuk terbitnya fajar–nyata merentang mulai dari 20º hingga 12º terhadap kaki langit timur, bahkan ada yang lebih kecil lagi.

Nilai 20º atau yang mendekati pada umumnya diterapkan di negara–negara Asia Tenggara (kecuali Malaysia) dan sejumlah negara Timur Tengah seperti Mesir, Arab Saudi, dan Turki.

Bagi negara–negara di sekitar garis khatulistiwa, maka setiap 4 menit langit akan bergeser 1º.

Sehingga, perbedaan sudut depresi Matahari 20º dan 12º setara dengan perbedaan waktu 32 menit sendiri, angka yang cukup besar.

Baca juga: Mulai Hari Ini, Retrograd Merkurius Bisa Disaksikan Saat Fajar

Ragam perbedaan pendapat ini kian kompleks seiring pemahaman umum dalam astronomi modern yang membagi fajar ke dalam fajar astronomi, fajar bahari (nautical) dan fajar alit (civil).

Meskipun ragam pembagian ini ternyata berdasarkan pada pengamatan dengan instrumen yang diarahkan ke titik–atas–kepala (zenith), bukan ke kaki langit.

Astronomi modern secara umum tidak menyukai kehadiran cahaya fajar dan senja, karena instrumentasi modern (khususnya sensor kamera elektronik) sangat sensitif terhadap kehadiran cahaya pengganggu.

Pengamatan langit dengan instrumen modern, lebih difavoritkan pada saat langit betul–betul gelap dan benda langit target berkedudukan tinggi.

Dalam perspektif fikih, setiap insan berhak menggunakan salah satu dari pendapat–pendapat tersebut, asal syarat dan ketentuannya dipenuhi. Misalnya penguasaan ilmu terkait.

Akan tetapi kepentingan umum, terlebih kapasitas penguasaan ilmu untuk setiap insan tidaklah sama, maka dibutuhkan sebuah panduan umum (guideline) terkait nilai sudut depresi Matahari untuk terbitnya cahaya fajar–nyata.

Inilah yang telah dikerjakan oleh Tim Kajian Awal Waktu Subuh pada Lembaga Falakiyah PBNU.

(Bersambung)

 

KH Salam Nawawi (1*), KH Djawahir Fahrurrazi (2), KH Abdul Muid Zahid (3), KH Muhyidin Hasan (3), M. Basthoni (4,11), Ismail Fahmi (5), Eka Puspita Arumaningtyas (8), Nihayatur Rohmah (9), Imam Qustholaani (1), Rukman Nugraha (1,12), Suaidi Ahadi (1,12), KH Ahmad Yazid Fattah (1), KH Shofiyulloh (6), Djamhur Effendi (1,13), Khafid (1,14), Hendro Setyanto (1), Ahmad Junaidi (8), KH Imron Ismail (1), Mutoha Arkanuddin (7), Syifaul Anam (10), dan Muh. Ma’rufin Sudibyo (1)

1. Lembaga Falakiyah PBNU
2. Lembaga Falakiyah PCNU Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Lembaga Falakiyah PCNU Kab. Gresik, Jawa Timur
4. Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Tengah
5. Lembaga Falakiyah PWNU DKI Jakarta
6. Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Timur
7. Lembaga Falakiyah PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta
8. Lembaga Falakiyah PCNU Kab. Ponorogo, Jawa Timur
9. PCINU Jepang
10. Institut Agama Islam Ngawi, Jawa Timur
11. UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah
12. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
13. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional
14. Badan Informasi Geospasial
*Ketua Tim Kajian Awal Waktu Subuh Lembaga Falakiyah PBNU

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com