Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Tidak Ada Perubahan Waktu Subuh

Kompas.com - 28/12/2020, 10:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APAKAH waktu Subuh di Indonesia harus berubah?

Pertanyaan ini telah mengemuka sejak sedasawarsa terakhir. Namun, dalam paruh kedua Desember 2020, seakan memperoleh tambahan amunisi manakala satu unsur pembantu pimpinan sebuah organisasi masyarakat (ormas) Islam besar mengusulkan mengubah awal waktu Subuh di Indonesia.

Meski masih berupa usulan yang harus di–tanfiz oleh pimpinan pusat ormas bersangkutan, namun usulan tersebut cukup membuat sejumlah ahli falak di Indonesia mendapatkan pertanyaan bertubi–tubi. Ada apa sebenarnya dengan waktu Subuh?

Cahaya fajar dan cahaya zodiak

Waktu shalat bergantung pada kedudukan Matahari, atau lebih tepatnya lagi waktu shalat untuk suatu titik di paras Bumi ditentukan oleh paparan berkas cahaya Matahari yang diterima pada titik tersebut.

Untuk kelima waktu shalat wajib, paparan berkas cahaya Matahari itu harus bersifat langsung. Bukan hasil pemantulan atau hamburan dari obyek lain yang terpapar sinar Matahari.

Awal waktu Dhuhur didasarkan pada berkas cahaya Matahari dalam kondisi transit tengah hari, sehingga tepat membentuk garis lurus utara–selatan sejati.

Awal waktu Ashar ditentukan oleh berkas cahaya Matahari yang memapar sebuah benda tegak sedemikian rupa, sehingga panjang bayang–bayangnya tepat sama dengan panjang bendanya sendiri setelah dikoreksi panjang bayang–bayang saat transit tengah hari.

Awal waktu Maghrib didasarkan pada mulai hadirnya cahaya senja. Awal waktu Isya ditentukan oleh mulai menghilangnya cahaya senja dan awal waktu Subuh didasarkan pada mulai munculnya cahaya fajar.

Pada awal waktu Isya dan Subuh, bundaran Matahari tidak terlihat langsung seperti halnya pada awal waktu–waktu shalat lainnya. Hanya pendar cahayanya saja yang menjadi penanda, sebagai konsekuensi dari melintasnya berkas cahaya Matahari melalui lapisan demi lapisan atmosfer.

Dalam hal waktu Subuh, pendar cahaya tersebut mewujud sebagai cahaya fajar atau fajar shadiq (eastern twilight).

Salah satu kurva dari data Banyuwangi tertanggal 25 Agustus 2020 yang menggambarkan persistensi cahaya zodiak (berpola linear) dan cahaya fajar (berpola eksponensial). Pada kurva ini awal munculnya cahaya fajar terjadi di tinggi Matahari minus 20 derajat. LF PCNU Gresik/Hasan & Muid, 2020 Salah satu kurva dari data Banyuwangi tertanggal 25 Agustus 2020 yang menggambarkan persistensi cahaya zodiak (berpola linear) dan cahaya fajar (berpola eksponensial). Pada kurva ini awal munculnya cahaya fajar terjadi di tinggi Matahari minus 20 derajat.

Ada narasi sains luar biasa dibalik kemunculan cahaya fajar setiap hari.

Bumi kita adalah sebuah benda langit yang berbentuk geoida dan diselimuti oleh lapisan molekul–molekul udara yang disebut atmosfer.

 

Kerapatan udara tertinggi terdapat di lapisan terbawah (troposfer), yang merentang hingga ketinggian 20 km di atas khatulistiwa. Di lapisan ini lah terselenggara proses–proses cuaca. Kerapatan udara kian menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian, dan pada ketinggian 120 km, kerapatan udara telah demikian rendah sehingga hampir menyerupai ruang hampa.

Di atas batas ketinggian ini, molekul–molekul udara masih tetap ditemukan namun dengan kerapatan yang sangat rendah.

Udara memiliki karakter yang mirip air sebagai fluida. Karena itu, atmosfer Bumi pun memiliki sifat optis, dapat membiaskan berkas cahaya dengan mematuhi hukum Snellius.

Jika dilihat dari satu titik di paras Bumi, maka sifat optis atmosfer akan paling kuat saat berada di cakrawala. Setiap benda langit yang kita lihat di cakrawala pada dasarnya telah terbenam sempurna.

Namun mereka masih bisa dilihat karena atmosfer Bumi membiaskan cahaya benda langit tersebut demikian rupa, sehingga kedudukannya ‘diangkat’ lebih dari setengah derajat dari semula dalam jurus menuju titik zenith.

Sifat optis serupa bertanggung jawab atas hadirnya cahaya fajar. Jauh sebelum Matahari terbit, berkas cahayanya telah menyentuh pucuk lapisan atmosfer tepat di bawah cakrawala timur dari sebuah titik di paras Bumi.

Maka, berkas cahaya itu pun terbiaskan demikian rupa di setiap lapisan. Hingga akhirnya saat melewati lapisan terbawah, pembiasan membuat berkas cahaya itu mengarah ke titik tersebut.

Kita akan melihatnya sebagai pendar cahaya keputih–putihan yang membentang mendatar (horizontal) di cakrawala timur.

Awalnya sangat tipis lalu kian menebal secara gradual seiring berjalannya waktu. Penebalan cahaya fajar diikuti terjadinya perubahan ketampakan menjadi berwarna kemerah–merahan dan kemudian kebiru–biruan. Perubahan ini akibat terjadinya hamburan Rayleigh oleh partikulat–partikulat mikron di atmosfer.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com