Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Hoaks Berkedok Sains Selama Pandemi, Pola Pikir Kritis Bisa Mencegahnya

Kompas.com - 28/07/2021, 16:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 dan tindakan pencegahan penularan virus corona lewat vaksinasi, pemakaian masker, menjaga jarak, dan sebagainya telah mengajarkan perlunya menerima dan mempercayai sains.

Namun di masa pandemi saat ini, banyak hoaks atau informasi palsu yang mengatasnamakan sains.

Dilansir dair PHYSORG, Senin (26/7/2021), sebuah riset terbaru bahkan mengatakan bahwa orang yang terlalu mempercayai "sains" dan tidak bisa memilah mana informasi yang benar dan salah lebih mungkin menyebarkan informasi palsu dibanding orang yang tidak terlalu percaya sains.

Sebagai contoh kecil, banyak informasi yang dikirim di grup whatsapp tentang cara mudah menyembuhkan Covid-19 dengan uap panas dan menyatut nama dokter atau ilmuwan, misalnya. Tanpa membuktikan kebenarannya, informasi itu langsung dikirim ke grup-grup whatsapp atau platform lainnya.

Baca juga: Studi: 800 Orang Meninggal karena Hoaks dan Teori Konspirasi Corona

Kembali ke penelitian terbaru, para peneliti yang terlibat dalam riset tersebut menyimpulkan bahwa kepercayaan pada sains juga membuat orang rentan terhadap pseudosains.

Ilmu semu atau pseudosains adalah sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah tetapi tidak mengikuti metode ilmiah.

"Temuan ini berimplikasi pada sains secara luas dan penerapan ilmu psikologi untuk mencegah informasi yang salah selama pandemi Covid-19," kata peneliti utama Dolores Albarracín.

"Orang-orang rentan ditipu oleh jebakan 'sains'," kata rekan penulis penelitian Alexandra Heyman Nash Penn, Integrates Knowledge University Professor dari University of Pennsylvania.

Contoh lain yang diberikan peneliti tentang pseudosains adalah vaksin Covid-19 yang disebut mengandung polutan atau bahan berbahaya lainnya.

"Itu hoaks, tapi berpura-pura ilmiah. Jadi orang yang diajari mempercayai sains dan biasanya mempercayai sains juga bisa dibodohi."

Dolores yang seorang psikolog sosial dan direktur Divisi Komunikasi Sains dari Pusat Kebijakan Publik Annenberg di University of Pennsylvania menegaskan bahwa yang dibutuhkan dunia saat ini adalah orang yang benar-benar kritis terhadap informasi.

"Pola pikir kritis dapat membuat Anda tidak mudah tertipu dan membuat Anda tidak mudah percaya pada teori konspirasi," tegas Dolores.

 

Thumbnail Video Teori-teori Konspirasi Sesat Seputar Corona.Muhammad Dicka Thumbnail Video Teori-teori Konspirasi Sesat Seputar Corona.

Penelitian

Studi yang dilakukan oleh Dolores dan koleganya ketika dia masih bertugas di University of Illinois di Urbana-Champaign, diterbitkan belum lama ini di Journal of Experimental Social Psychology.

Untuk penelitian ini, para peneliti melakukan empat eksperimen pra-registrasi dengan peserta online.

Para peneliti membuat dua cerita fiktif. Cerita pertama, tentang virus yang dibuat sebagai senjata biologis, yang mencerminkan klaim tentang virus corona SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.

Cerita kedua, tentang teori konspirasi yang tidak berdasar tentang efek organisme yang dimodifikasi secara genetik atau GMO pada tumor.

Cerita-cerita yang diciptakan berisi referensi baik konsep ilmiah dan ilmuwan yang mengaku telah melakukan penelitian tentang topik atau deskripsi dari orang-orang yang diidentifikasi sebagai aktivis.

Peserta dalam setiap percobaan, mulai dari 382-605 orang, secara acak ditugaskan untuk membaca cerita versi ilmiah atau non-ilmiah.

Peneliti menemukan, bagi orang-orang yang tidak percaya pada sains, kehadiran konten ilmiah dalam sebuah cerita tidak memiliki pengaruh yang signifikan.

Tetapi orang-orang yang memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi pada sains lebih cenderung mempercayai cerita dengan konten ilmiah dan lebih mungkin untuk menyebarkannya. Tidak peduli apakah informasi benar sudah terbukti secara ilmiah atau belum.

 

Dalam percobaan keempat, peserta diminta untuk memiliki pola pikir 'kepercayaan pada sains' atau 'evaluasi kritis'.

Mereka yang memiliki pola pikir kritis cenderung tidak mempercayai cerita-cerita itu, terlepas dari apakah cerita-cerita itu menggunakan referensi yang tampaknya ilmiah atau tidak.

"Pola pikir kritis membuat Anda tidak mudah tertipu, apa pun jenis informasinya," kata Albarracín.

"Orang perlu memahami bagaimana sains beroperasi dan bagaimana sains sampai pada kesimpulannya," tambah Dolores.

"Orang-orang dapat diajari sumber informasi apa yang dapat dipercaya dan bagaimana memvalidasi informasi itu. Ini bukan hanya kasus mempercayai sains, tetapi memiliki kemampuan untuk lebih kritis dan memahami bagaimana memeriksa ulang informasi apa yang sebenarnya."

Penulis utama, peneliti postdoctoral Thomas C. O'Brien dari University of Illinois di Urbana-Champaign, menambahkan, meskipun kepercayaan pada sains memiliki manfaat sosial yang penting, itu bukan obat mujarab yang akan melindungi orang dari informasi yang salah.

"Penyebar informasi yang salah umumnya adalah penganut sains referensi. Komunikasi sains tidak bisa begitu saja mendesak orang untuk mempercayai apa pun yang merujuk sains, dan sebaliknya harus mendorong orang untuk memahami tentang metode ilmiah dan cara untuk terlibat secara kritis dengan isu-isu yang melibatkan konten ilmiah."

Baca juga: Setahun Pandemi Covid-19, Ini 6 Teori Konspirasi Menyesatkan di Dunia

Para peneliti menyimpulkan bahwa walaupun sinisme sains dapat berdampak buruk, hasil riset menunjukkan bahwa advokasi untuk mempercayai sains harus melampaui label ilmiah, untuk fokus pada isu-isu spesifik, evaluasi kritis, dan adanya konsensus di antara beberapa ilmuwan.

"Membina kepercayaan dalam 'skeptisisme yang sehat' yang melekat pada proses ilmiah juga dapat menjadi elemen penting untuk melindungi dari informasi yang salah," kata peneliti.

"Memberdayakan orang dengan pengetahuan tentang proses validasi ilmiah dan motivasi untuk menjadi kritis dan ingin tahu dapat memberikan audiens sumber daya yang mereka butuhkan untuk mengabaikan pseudosains pinggiran tapi berbahaya."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com