Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kurva Covid-19 di Indonesia Melandai, Apa yang Salah dari Datanya?

Kompas.com - 10/05/2020, 20:35 WIB
Yohana Artha Uly,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sempat mengklaim laju kurva kasus Covid-19 di Indonesia, khususnya Jakarta, sudah melambat. Benarkah seperti itu?

Ahli biostatistik Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, menyatakan kurva yang disampaikan pemerintah setiap harinya kepada publik bukanlah kurva epidemi yang sesuai standar ilmu, sehingga sulit untuk melihat perkembangan kasus yang sesungguhnya di dalam negeri.

Ia menjelaskan, kurva epidemi yang sesuai standar terdiri sumbu Y (vertikal) yang menunjukkan jumlah kasus baru, dan sumbu X (horisontal) yang mengindikasikan patokan waktu analisis yang terkait dengan jumlah kasus baru. Seperti patokan tanggal orang terinfeksi, tanggal mulai bergejala, dan tanggal diperiksa.

Baca juga: Manakah Skenario Ideal Pandemi Corona di Indonesia, Ahli Jelaskan

Sementara pada kurva yang dimiliki pemerintah, sumbu X menunjukkan angka pertambahan kasus Covid-19 yang terlapor setiap harinya.

"Seharusnya bukan angka yang terlapor, karena bisa saja angkanya lebih besar namun test kit tidak mencukupi, atau angka yang dilaporkan hari itu berdasarkan kapasitas laboratorium," tutur Iqbal dalam diskusi online "Mengenal Kurva Epidemi Covid-19", Sabtu (10/5/2020).

Contoh kurva epidemi yang dikeluarkan pemerintah ChinaIQBAL ELYAZAR Contoh kurva epidemi yang dikeluarkan pemerintah China

Berkaca pada kurva epidemi Covid-19 pemerintah China, di sana terdiri dari sumbu Y mengenai jumlah kasus dan sumbu X mengenai tanggal mulai bergejala. Kurva itu juga menunjukkan 4 kelompok kasus yakni konfirmasi, suspek, diagnosis secara klinis, dan asimptomatis (orang tanpa gejala).

Baca juga: Ahli: Pemerintah Perlu Buat Kurva Epidemiologi Covid-19 Sesuai Standar

Di samping itu, pemerintah China juga menunjukkan kurva epidemi khusus pada kasus yang positif Covid-19. Terdiri dari sumbu Y jumlah kasus dan sumbu X dengan patokan tanggal mulai bergejala dan tanggal diagnosis.

"Jadi dari kurva ini bisa bercerita banyak, terlihat pola kenaikan dan turunnya (jumlah kasus baru), puncak wabah, juga bisa lihat yang positif, bergejala, hingga suspek," ujar Iqbal.

Sementara di Indonesia hanya menampilkan kurva harian kasus Covid-19. Terdiri dari sumbu Y tentang jumlah kasus konfirmasi tambahan, sedangkan sumbu X adalah tanggal pelaporan kasus.

"Bukan tanggal mulai bergejala, atau tanggal periksa. Kurva ini tak sesuai standar ilmu epidemiologi," jelas Iqbal.

Kurva perkembangan kasus terkonfirmasi Covid-19 per hari.IQBAL ELYAZAR Kurva perkembangan kasus terkonfirmasi Covid-19 per hari.

Padahal jumlah kasus konfirmasi tambahan tidaklah sama artinya dengan jumlah kasus baru.
Angka jumlah kasus harian yang dilaporkan tidak bisa menjelaskan laju infeksi harian pada hari sebelumnya.

Dengan kata lain, turunnya angka kasus harian itu tidak bisa langsung dibaca sebagai turunnya laju infeksi harian.

Baca juga: Eucalyptus Jadi Antivirus Corona, Benarkah Bisa Bunuh Virus Covid-19?

Menurut Iqbal, lamanya jarak waktu antara sampel diambil dengan hasil pemeriksaan dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada kurva kasus Covid-19 di dalam negeri. Beberapa kasus menunjukkan, pasien harus menunggu hasil tes swab bisa mencapai 14-20 hari.

Lamanya pemeriksaan sampel ini bergantung pada ketersediaan alat dan bahan tes. Jika tak tersedia maka pemeriksaan sampel yang diambil pada hari tersebut akan tertunda. Hal ini sangat berpengaruh pada laju kurva Covid-19 setiap harinya.

Baca juga: [UPDATE] - Pergerakan Data Harian Covid-19 di Indonesia

Dengan demikian, laporan hasil dari lab tak berhubungan dengan frekuensi jumlah kasus baru yang sesungguhnya. Ini tidak bisa jadi patokan bahwa laju infeksi harian sudah menurun hanya dengan data tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com