Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Orang Cenderung Diam Saat Mengalami Pelecehan Seksual? Sains Jelaskan

Tapi nyatanya, manusia memang tak selalu pandai memprediksi bagaimana kita akan bereaksi dalam situasi tertentu.

Profesor Paul Dolan, psikolog perilaku di London School of Economics mengatakan, dalam keadaan tenang, tidak dalam bahaya apa pun, dan bisa berpikir rasional, maka sangat sulit untuk membayangkan apa yang akan kita lakukan dalam keadaan terdesak.

"Kebanyakan orang tentu berpikir bahwa kita akan melawan ketika kita diserang. Begitu pun pada korban pelecehan seksual dan perkosaan, kita mungkin akan berpikir, ‘mengapa dia tidak melawan? Jika saya ada di posisi itu, saya akan lari atau melawannya’. Memang sulit bagi kita untuk memahaminya, apalagi jika Anda telah meyakini sesuatu,” kata Dolan.

Lebih lanjut ia mengatakan, pemikiran tersebut yang menjadi alasan mengapa salah satu mitos terbesar soal pemerkosaan – bahwa tidak melawan penyerang atau mencoba melarikan diri adalah indikasi persetujuan – telah bertahan sebagai pertanyaan yang efektif untuk pengacara pembela di pengadilan hingga saat ini.

Sayangnya, ini adalah kepercayaan yang dipegang secara luas, terlepas dari fakta bahwa ada banyak bukti ilmiah dan psikologis untuk menghilangkan prasangka itu.

Rasa malu dan trauma adalah efek samping yang umum bagi para penyintas yang kredibilitasnya diremehkan oleh pihak berwenang dan bahkan orang-orang yang mendengar pengakuannya.

Hal ini tentu secara signifikan menunda pemulihan korban dan menyebabkan kerusakan psikologis lebih lanjut.

3 Respons Menghadapi Bahaya

Noel McDermott, seorang psikoterapis dengan pengalaman bertahun-tahun merawat klien yang telah mengalami pengalaman traumatis mengungkap, kebanyakan orang pernah mendengar tentang lawan atau melarikan diri, tetapi tidak banyak orang tahu tentang respons lain yang sama umum terhadap bahaya, yaitu 'freeze' atau membeku.

"Ketiga respons tersebut dikendalikan oleh bagian otak yang disebut amigdala dalam sistem limbik," ujarnya.

"Bagian otak ini membuat keputusan tentang strategi mana yang akan digunakan, terlepas dari kemauan sadar. Ini benar-benar mengambil alih fungsi eksekutif di sekitar pengambilan keputusan, memori, gerakan, dan banyak lagi," jelas McDermott.

Respons membeku atau berdiam diri, lanjutnya, telah berkembang sebagai mekanisme bertahan hidup karena dua alasan utama.

Pertama, membeku atau diam membuat mangsa tidak terlihat oleh banyak pemangsa yang matanya lebih peka terhadap gerakan daripada bentuk atau warna.

Kedua, 'berpura-pura mati' sering kali menjadi cara agar pemangsa melepaskan mangsanya, karena pemangsa kebanyakan bukan pemakan bangkai.

"Jelas pemerkosa bukan singa yang mencoba memakan kita, jadi mengapa memilih 'pura-pura mati'? Seringkali ini karena amigdala tidak dalam kondisi sadar, sebab amigdala membuat keputusan berdasarkan kadar hormon stres," lanjut McDermott.

"Ini diaktifkan ketika hormon stres - kami menyebutnya ketakutan - mencapai tingkat yang cukup tinggi. Kemudian mengambil alih pengambilan keputusan dari bagian eksekutif otak kita."

Respons freeze atau membeku ini umumnya sebagai respons terhadap teror, seperti diperkosa, pertarungan atau pelarian.

3 Fase Pembekuan

Senada dengan McDermott, Jim Hopper, Ph.D., pakar trauma psikologis dan rekan pengajar di Harvard Medical School mengatakan, para ilmuwan secara luas mendefinisikan freeze atau membeku sebagai respons terhadap ancaman yang ditandai tidak hanya oleh imobilitas, tetapi juga penghambatan perilaku.

Ia melanjutkan, dengan membaca literatur ilmiah dengan cermat, dan mendengarkan dengan cermat orang-orang yang menjelaskan tanggapan mereka terhadap serangan seksual, pelecehan berat, dan serangan lainnya, kemungkinan ada tiga jenis respons membeku, yaitu deteksi, kejutan, dan pilihan tidak baik.

“Seperti yang akan kita lihat, seseorang yang mengatakan "Saya membeku" mungkin pernah mengalami satu, dua, atau ketiga bentuk. Dan untuk alasan neurobiologis, jika lebih dari satu terjadi, mereka biasanya terungkap dalam urutan tertentu,” ujar Hopper.

1. Deteksi Pembekuan

Dalam serangan seksual dan pelecehan yang parah, sering kali ada saat kritis ketika serangan itu terdeteksi dan otak serta tubuh secara instan dan otomatis memasuki keadaan yang sama sekali berbeda.

Sampai saat itu, orang tersebut mungkin menghadapi pengalaman baru, bahkan jika itu tidak menyenangkan, tidak diinginkan, dan membuat tertekan. Kemudian mulai mendeteksi apa yang sebenarnya terjadi.

Kemudian sesuatu yang buruk terjadi hingga meningkatkan stres secara besar-besaran, dan sirkuit pertahanan otak tidak hanya mendeteksi serangan yang tidak terduga, tetapi secara otomatis dan tanpa sadar memicu respons otak dan tubuh yang kuat.

Ini adalah deteksi pembekuan, dan untuk menggambarkannya orang sering berkata, "Saya membeku sebentar."

Setiap orang akan memiliki respons deteksi pembekuan ini pada waktu yang berbeda, beberapa orang mungkin ketika mereka pertama kali merasakan ada sesuatu yang salah, sebelum agresi yang jelas, dan yang lainnya mungkin membutuhkan waktu lebih lama.

Itu bisa terjadi ketika lengan dicengkeram, kemeja dibuka paksa, tubuh ditarik paksa, atau ketika seseorang yang dipijat disentuh secara tidak tepat untuk pertama atau kedua kalinya.

“Pemicu potensial tidak terbatas, tetapi respons deteksi pembekuan pada dasarnya sama, yaitu seketika dan tanpa sadar, terkadang dengan sentakan, semuanya berhenti dan semuanya berubah,” jelas Hopper.

Respons ini bisa cepat berlalu, dan mungkin tidak akan diingat lagi nanti—setidaknya tidak pada awalnya, terutama jika pengalaman yang lebih mengganggu terjadi tepat sebelum dan sesudahnya, atau orang tersebut pada umumnya menghindari ingatan buruk.

Seringkali penyelidik tidak mengajukan pertanyaan yang tepat, atau bahkan mengetahui bahwa itu adalah respons umum dan momen kunci dalam banyak serangan seksual.

Respons deteksi pembekuan tidak terjadi di setiap serangan seksual atau insiden pelecehan berat, terutama jika eskalasi dan pengakuan terungkap secara bertahap. Tetapi ketika itu terjadi, berbagai proses berbasis otak lainnya cenderung mengikuti.

Jelas, respons deteksi pembekuan melibatkan penghentian semua gerakan (selain pernapasan dan pemindaian visual). Itu sebabnya disebut pembekuan.

Imobilitas membantu korban menghindari perhatian pemangsa. Sama pentingnya, menghentikan perilaku apa pun yang terjadi tepat sebelum serangan terdeteksi, juga memberi ruang—secara harfiah, dalam hal fungsi jaringan otak—untuk opsi perilaku baru dan tidak terencana yang dapat mencegah cedera atau kematian.

2. Pembekuan yang Mengejutkan

Berhentinya semua gerakan dan pemikiran secara tiba-tiba dapat berlangsung sepersekian detik, beberapa detik, atau bahkan lebih lama. Ketika berlangsung beberapa detik atau kurang, itulah respons deteksi pembekuan.

Tetapi ketika itu berlangsung lebih lama dari beberapa detik, proses otak tambahan terlibat, itu adalah masalah besar. Orang cenderung mengingatnya.

“Itulah sebabnya banyak orang yang pernah mengalami pelecehan seksual atau pelecehan berat mengatakan bahwa, pada titik tertentu, "Saya kaget" atau "Pikiran saya kosong", dan tentu saja, "Saya membeku.",” ungkap Hopper.

“Saya menamakan keadaan yang luar biasa, mengganggu, dan mudah diingat ini sebagai respons beku yang mengejutkan,” lanjutnya.

Menurut Hopper, biasanya muncul tepat setelah respons deteksi pembekuan, sebagai kelanjutan dari "pengaturan ulang jaringan" - dan amplifikasi besar-besaran.

Selama beberapa detik seseorang mungkin merasa terkejut, tercengang, pikiran mereka benar-benar kosong, kehilangan kata-kata dan tindakan.

Pada dasarnya, dalam bentuk atau fase pembekuan ini, tidak ada pilihan untuk merespons yang bahkan muncul di otak atau kesadaran.

Bukannya memiliki pilihan, tetapi tidak dapat memutuskan apa yang harus dilakukan. Otak mereka pada fase ini, setidaknya untuk sementara waktu, benar-benar tidak menghasilkan pilihan perilaku apa pun untuk dipilih, apalagi dijalankan.

3. Pembekuan Tanpa Pilihan Baik

Banyak penyintas kekerasan seksual mengingat, bagaimana hanya beberapa detik setelah mencatat perilaku pelaku sebagai serangan atau setelah keluar dari keadaan syok yang singkat, pemikiran mereka menjadi sangat terbatas.

“Mereka hanya memiliki sedikit pemikiran, "Yang dapat saya pikirkan hanyalah... ini tidak mungkin terjadi, ini hampir berakhir, atau Tuhan tolong aku” Mereka tidak emmiliki pikiran lain dan tidak memiliki kemampuan untuk secara rasional menghasilkan dan kemudian memilih dari pemikiran lain,” tutur Hopper.

Yang lain, lanjut Hopper, mendapati diri mereka hanya memikirkan dua respons yang sepenuhnya berlawanan, keduanya ekstrem dan mengerikan, seperti berteriak dan membuat orang melihat adegan memalukan atau tetap berbaring diam.

Initinya, hanya lawan dan ambil risiko kekerasan yang lebih buruk atau tidak melakukan perlawanan sama sekali.

Hopper menegaskan, pembekuan terjadi dalam banyak serangan seksual dan insiden pelecehan berat.

Dalam ketiga respons beku, sirkuit pertahanan otak mengatur perubahan besar dalam fungsi otak yang memiliki efek besar pada pengalaman dan perilaku.

Kemudian, mencoba memahami dan menjelaskan apa yang terjadi, para penyintas mengatakan hal-hal seperti, "Saya membeku," "Saya kaget," dan "Yang bisa saya pikirkan hanyalah ..."

Dalam deteksi pembekuan, semua gerakan dan pemikiran tiba-tiba berhenti. Dalam pembekuan yang mengejutkan, ada pikiran kosong dan tidak ada perilaku untuk dipilih.

Sementara dalam pembekuan tidak ada pilihan yang baik, otak hanya memberi isyarat pada pilihan perilaku ekstrem dan hanya ada sedikit atau tidak ada kapasitas korteks prefrontal untuk memilih secara rasional di antara mereka atau menghasilkan yang berpotensi lebih efektif.

Beberapa orang mungkin mampu untuk langsung melawan atau melarikan diri ketika diserang secara seksual. Tapi kebanyakan orang tidak mampu melakukannya.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/06/11/214552623/mengapa-orang-cenderung-diam-saat-mengalami-pelecehan-seksual-sains

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke