Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

DPR RI Diminta Tak Masukkan Isu Nuklir dan Energi Fosil ke UU EBT

KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia menghargai keterbukaan Komisi VII DPR RI dalam mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama beberapa pemangku kepentingan, untuk membahas draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT), Kamis (17/9/2020).

Pembahasan RUU EBT ini menjadi harapan hadirnya payung hukum yang kuat untuk mendukung pengembangan energi terbarukan demi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional, serta komitmen Indonesia dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.

Namun, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia juga menyayangkan masih adanya isu pembahasan mengenai pemanfaatan energi nuklir dan energi baru berbasis fosil yang tidak berkelanjutan dalam draf RUU yang beredar.

Adapun energi baru tidak berkelanjutan yang masih masuk dalam pembahasan tersebut, seperti gas metana, gasifikasi batu bara, dan likuifaksi batu bara.

Koalisi ini berpandangan bahwa Komisi VII DPR RI seharusnya mengeluarkan isu nuklir dan energi baru dari draf RUU EBT dan berfokus dalam membangun kerangka kebijakan yang komprehensif untuk energi terbarukan.

Untuk diketahui, fokus energi terbarukan yang baik untuk dimanfaatkan yaitu tenaga surya, air, angin, bioenergi dan panas bumi.

Seharusnya tidak dimasukkan ke RUU EBT

Peneliti dari Yayasan Indonesia Cerah, Wira Dillon, menjelaskan bahwa isu nuklir seharusnya tidak dimasukkan karena nuklir telah dibahas secara tersendiri di dalam UU No. 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran.

Bahkan, pembahasan tentang pengusahaan nuklir dalam ketenagalistrikan telah dimasukkan dalam draf RUU Cipta Kerja (Omnibus Law).

Selain itu, Kebijakan Energi Nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.79 Tahun 2014 juga menyebutkan bahwa nuklir merupakan pilihan terakhir bagi penyediaan energi di Indonesia.

"Nuklir memang seharusnya hanya jadi pilihan terakhir mengingat cadangan uranium kita tidak terlalu banyak," kata Wira.

Oleh karena itu, jika Indonesia membangun PLTN justru akan mengurangi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan energi Indonesia ke depan, ujar Wira.

Tidak hanya itu, Wira menambahkan, kondisi geografis Indonesia yang terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) menjadikan kita rentan terhadap gempa bumi dan tsunami.

Ironisnya, risiko bencana tersebut sangat berpotensi menganggu pengoperasian PLTN maupun membahayakan sistem penyimpanan limbah nuklir.

"Memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT akan berlawanan dengan asas dan tujuan dasar pembuatan RUU ini, diantaranya asas keberlanjutan, asas ketahanan, serta asas kedaulatan dan kemandirian," ujarnya.

Antisipasi potensi ketergantungan teknologi PLTN

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menambahkan, pemerintah dan DPR seharusnya dapat mengantisipasi adanya potensi ketergantungan teknologi dalam pengembangan PLTN.

"Pembangunan PLTN memiliki sifat dan karakter yang berbeda dari energi terbarukan, serta risiko jangka panjang yang tidak selayaknya diwariskan kepada generasi yang akan datang," ucap Fabby.

Antisipasi ketergantungan teknologi PLTN ini perlu dilakukan karena selain biaya yang sangat mahal, pembangunan PLTN membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingakan dengan pembangunan dan teknologi energi terbarukan.

"Ke depan harga energi-energi terbarukan akan semakin murah dan semakin cepat untuk dibangun, terutama dalam menggantikan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari batubara yang juga harus segera ditutup," jelasnya.

Oleh sebab itu, Fabby menegaskan, adanya isu nuklir di dalam draf RUU EBT ini seharusnya menjadi perhatian bagi anggota DPR RI.

Terutama mengenai kemungkinan adanya kepentingan segelintir orang yang mengemas nuklir sebagai solusi yang menjawab ketahanan energi nasional.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/09/22/180600123/dpr-ri-diminta-tak-masukkan-isu-nuklir-dan-energi-fosil-ke-uu-ebt

Terkini Lainnya

Studi: Mimpi Buruk Bisa Jadi Tanda Awal Penyakit Autoimun

Studi: Mimpi Buruk Bisa Jadi Tanda Awal Penyakit Autoimun

Oh Begitu
Kenapa Kita Tidak Boleh Mengambil Cangkang Kerang dari Pantai?

Kenapa Kita Tidak Boleh Mengambil Cangkang Kerang dari Pantai?

Oh Begitu
Ilmuwan Cari Tahu Usia Lumba-lumba Lewat Kotoran

Ilmuwan Cari Tahu Usia Lumba-lumba Lewat Kotoran

Oh Begitu
5 Penyakit yang Menular dari Hewan ke Manusia

5 Penyakit yang Menular dari Hewan ke Manusia

Oh Begitu
Seberapa Bahaya Turbulensi Pesawat Terbang?

Seberapa Bahaya Turbulensi Pesawat Terbang?

Oh Begitu
Bagaimana Bahasa Berkembang?

Bagaimana Bahasa Berkembang?

Fenomena
Obat Penumbuh Gigi Segera Diuji pada Manusia

Obat Penumbuh Gigi Segera Diuji pada Manusia

Fenomena
Apakah Aturan Sebelum 5 Detik itu Benar? Sains Punya Jawabannya

Apakah Aturan Sebelum 5 Detik itu Benar? Sains Punya Jawabannya

Oh Begitu
Perubahan Iklim Terbukti Ganggu Kesehatan Saraf

Perubahan Iklim Terbukti Ganggu Kesehatan Saraf

Fenomena
Bagaimana Manusia Prasejarah Mengolah Logam?

Bagaimana Manusia Prasejarah Mengolah Logam?

Fenomena
Mengapa Kita Suka Bernyanyi di Kamar Mandi?

Mengapa Kita Suka Bernyanyi di Kamar Mandi?

Kita
Bisakah Evolusi Menghadirkan Kembali Dinosaurus?

Bisakah Evolusi Menghadirkan Kembali Dinosaurus?

Oh Begitu
Mengapa Beberapa Orang Bersikap Jahat di Internet? Psikologi Jelaskan

Mengapa Beberapa Orang Bersikap Jahat di Internet? Psikologi Jelaskan

Kita
Platipus Tidak Punya Perut, Kenapa Begitu?

Platipus Tidak Punya Perut, Kenapa Begitu?

Oh Begitu
Hewan Apa yang Tercepat di Lautan?

Hewan Apa yang Tercepat di Lautan?

Oh Begitu
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke