Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hazmat dari Kostum Paruh hingga Pelindung dari Ebola dan Corona

KOMPAS.com - Ketika pandemi virus corona menyebar dari China ke seluruh dunia, gambar-gambar petugas medis mengenakan pakaian hazmat menjadi pemandangan yang kerap muncul di halaman surat kabar dan media elektronik.

Pakaian ini merupakan bagian dari alat pelindung diri (APD) yang dikenakan para petugas medis untuk melindungi diri dan pasien dari infeksi virus, salah satunya yang kini tengah dihadapi dunia, Covid-19.

Setelah hazmat, seperti dilansir dari The Guardian, Selasa (9/6/2020) merupakan kiasan dari budaya pop. Mungkin banyak di antara kita baru kali ini melihat seseorang mengenangkan hazmat, sejak wabah virus corona baru merebak.

Lantas, dari mana sebenarnya setelan pakaian hazmat ini?

Sebelum ada pakaian hazmat, ada kulit minyak dan pomanders berbau harum yang dijadikan bahan untuk pembuatan topeng dari kain muslin.

Pada awal tahun 1600-an, sebuah lukisan menunjukkan penggali kubur mendekati mayat yang terkena wabah dengan menutup mulut dan hidungnya dengan saputangan.

"Praktek-praktek ini tidak selalu untuk melawan penularan seperti yang kita pahami. Sebab, saat itu diyakini penyakit berasal dari tanah dalam bentuk gas," kata Dr Christos Lynteris dari University of St Andrews.

Dokter-dokter di Venesia di abad ke-17, menggunakan kostum yang ikonik di masa itu, lengkap dengan topeng paruh.

Ini diyakini menjadi upaya paling awal yang dilakukan oleh tenaga medis untuk melindungi diri mereka selama wabah pes di masa itu.

Seorang dokter Perancis, Charles de Lorme yang menampilkan mantel kulit panjang dengan paruh berisi bawang putih dan rue.

Selanjutnya, itu dikenal sebagai setelan hazmat permanen dan sayangnya itu mungkin memperburuk keadaan.

"Setelan hazmat permanen tanpa protokol pembersihan dan desinfektan akan menjadi vektor penyakit," kata Lynteris.

Ilmuwan Rusia kemudian merancang prototipe hazmat untuk menangani wabah yang berkembang di Volga pada tahun 1870-an.

"Setelan pakaian itu tidak pernah diproduksi, tetapi dirancang dengan indah," kata Lynteris.

Pakaian yang dirancang itu bertujuan mencegah gas imajiner mencapai hidung. Lynteris mengatakan ada sejarah panjang dari alat pelindung diri (APD), tetapi bukan dari wabah atau penyakit dari bakteri.

"Sebab, para ilmuwan saat itu tidak memahami seperti apa yang kita lakukan hari ini (saat pandemi Covid-19)," jelas dia.

Hazmat modern di tengah wabah ebola

Asal usul hazmat modern dikembangkan saat wabah Manchuria merebak di tahun 1910. Saat itu, dokter Wu Lien-teh, memiliki teori bahwa wabah itu menyebar di udara seperti flu.

Lynteris menjelaskan Dr Wu Lien-teh bersikeras agar semua dokter, perawat dan staf pemakaman meemakai topeng kasa sederhana yang dirancangnya.

"Itu adalah pertama kalinya kami memiliki masker yang dirancang untuk digunakan selama epidemi," jelas Lynteris.

Awalnya, dokter Wu diejek oleh rekan-rekannya, tetapi ketika seorang dokter Perancis yang terkenal mengoperasi tanpa topeng untuk membuktikan pendapatnya salah, dokter tersebut akhirnya meninggal beberapa hari kemudian.

Setelah itu, anggapan tentang masker kasa rancangannya berubah dan Wu telah menyelamatkan hidup yang tak terhitung.

Pandemi flu Spanyol di tahun 1918, masker adalah hal biasa. Memasuki abad ke-20, sektor kimia dan nuklir mengembangkan pakaian hazmat modern, dengan versi medis yang mulai digunakan secara luas selama wabah ebola pada tahun 1990-an.


Sejak itu, pakaian hazmat kian populer, bahkan menjadi plot penting dalam setiap produksi film yang menampilkan penyebaran wabah penyakit.

"Ahli epidemiologi adalah pahlawan budaya yang menarik. Mereka bagian dari detektif, berusaha menemukan pasien atau hewan dan mencari dari mana penyakit berasal. Tetapi mereka juga seseorang yang berjanji untuk memulihkan masyarakat," kata Lynteris.

Pada tahun 2015, para peneliti di Johns Hopkins University mendesain ulang setelan hazmat agar pakaian ini dapat lebih mudah dan aman saat dipindahkan.

Selain menyederhanakan ritsleting dan meningkatkan sistem pendingin, mereka menciptakan lebih banyak transparansi di sekitar wajah. Kendati demikian, pakaian ini belum digunakan secara luas.

Para peneliti menilai dengan mengurangi transparansi pada wajah akan memberi manfaat lain, saat petugas medis merawat pasiennya.

Pada tingkat dasar, peneliti mengatakan seorang pekerja medis yang wajahnya dikaburkan dapat memiliki efek dehumanisasi.

Pasien menyadari bahwa mereka bukan lagi hanya manusia, tetapu suatu vektor penyakit.

Kini, setelah pakaian hazmat menjadi alat penting untuk mempersenjatai para petugas medis maupun staf pemakaman dalam melawan wabah Covid-19 yang disebabkan oleh virus corona baru yang kini telah menginfeksi lebih dari 7 juta orang di dunia.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/09/160200923/hazmat-dari-kostum-paruh-hingga-pelindung-dari-ebola-dan-corona

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke