Oleh Ai Rahmayanti, S.Sos.I, M.Ag*
WORK from home (WFH) di tengah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bagi sebagian besar perempuan pekerja dirasakan menjadi beban ganda yang sangat berat. Mereka terbebani urusan domestik sekaligus urusan publik.
Mulai dari memasak di dapur, merapikan kasur, mengasuh anak, mengajar anak sekolah online serta mengerjakan tugasnya sebagai pekerja. Banyak suami yang hanya mengerjakan tugas publik saja, bahwa semua urusan rumah tangga dikerjakan istri.
Dampak berlipat bagi perempuan ini, yakni sebagai ibu dan istri, sekaligus pekerja, menjadikan dia harus memegang beban ganda dalam kondisi pandemi ini.
Stay at home ataupun #amandirumah ini juga tidak menjamin terbebas dari kekerasan karena pandemi Covid-19 diikuti dengan gelombang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang mengerikan dan ini terjadi berskala global.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Islam, Kepedulian, dan Semangat Pembebasan
Terbukti di beberapa negara, pengajuan perlindungan diri perempuan korban kekerasan melonjak tajam.
Kompas (9/2/2020) menyebutkan Australia mengalami peningkatan 40 persen permintaan bantuan dari pekerja perempuan di garis depan, Spanyol peningkatan 40 persen KDRT serta permintaan penampungan darurat, Singapura 33 persen, Perancis 30 persen, dan Argentina 25 persen pascakebijakan lockdown diberlakukan.
Begitu pula di Indonesia, LBH APIK dalam satu bulan mencatat 97 kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan semenjak pemberlakuan PSBB mulai 16 Maret sampai 19 April 2020. Ini membuktikan bahwa rumah pun belum tentu menjadi tempat aman, bahkan menjadi pilihan pahit perempuan-perempuan dengan pasangan yang kerap melakukan kekerasan.
Dari realita yang ada, ketimpangan gender membuat perempuan memiliki kerentanan berlipat di tengah pandemi. Untuk itu, perlu pendekatan sosial budaya dan pendekatan agama, agar terwujud keseimbangan peran domestik dan publik.
Sisi sosial budaya, maksudnya bagaimana setiap keluarga dalam situasi pandemi ini bisa bergotong-royong membagi tugas dan bekerjasama untuk mengelola kehidupan di rumah.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Puasa Menjadi Sarana Hidup di Jalan Allah
Selama ini pemerintah lebih banyak mengimbau terkait kesehatan. Tetapi hal-hal yang bersifat sosial budaya jarang tersentuh, padahal problem sosial budaya jelas terdampak akibat pandemi ini.
Begitu pula dari sisi agama, apalagi bertepatan dengan momentum bulan Ramadan harus menjadi perwujudan eksistensi kesalehan individu sekaligus kesalehan sosial.
Hal ini bisa dimulai dari unsur terkecil dari kehidupan sosial kemasyarakatan, yakni keluarga. Dalam berkeluarga yang harus menjadi dasar relasi adalah prinsip keadilan dan kesalingan yang bersumber pada nilai mawaddah dan rahmah (cinta kasih ).
Mawaddah yaitu cinta kasih yang melahirkan kemaslahatan atau kebaikan bagi pihak yang mencintai. Perasaan cinta yang melahirkan keinginan untuk membahagiakan dirinya sendiri. Seperti ungkapan “aku ingin menikahimu karena aku bahagia bersamamu” artinya ingin dicintai dan dilayani.
Rasa mawaddah ini saja tidak cukup, karena orang yang mencintai hanya peduli pada kebahagiaan dirinya sendiri sehingga mungkin abai pada kebahagiaan orang yang dicintainya.