Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangun Rumah Berkualitas dan Terjangkau, Indonesia Harus Berguru pada Singapura

Kompas.com - 02/10/2021, 11:16 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

Bahkan, Perumnas terus mengalami penurunan pendapatan yang signifikan sebesar 27,25 persen pada Semester I-2021 dibanding periode yang sama tahun 2020. Hal ini disebabkan melambatnya penjualan rumah untuk MBR dan komersial.

Alhasil, inventori rumah Perumnas menjadi besar, yang mengakibatkan rasio utang terhadap ekuitas meningkat tajam.

Perumnas tercatat memiliki utang sebesar Rp 4,62 triliun yang saat ini sedang dilakukan restrukturisasi.

Baca juga: Perumnas Percepat Pembangunan Hunian Berkonsep TOD di Tiga Lokasi

"Perumnas jadi ngambang, membangun perumahan komersial tapi nggak laku. Selain itu, kendati underbow dari BUMN, tapi tidak punya visi dan misi, jadi siapa pun direksi yang ditugaskan akan kebingungan itu mengurusi Perumnas, karena sejak deregulasi yang dilakukan tahun 1988 itu, praktis peran Perumnas ompong," tutur Panangian.

Peran perumnas hanya bisa dianggap sebagai pelopor pembangunan perumahan rakyat di daerah pinggiran kota di Indonesia, seperti Depok, Simalingkar Medan, dan lain-lain pada kurun 1974 hingga 1980-an.

Saat itu, lembaga ini diakui sebagai pemain kunci (key players) yang otoritatif, pengembang sekaligus regulator dalam pembangunan rumah rakyat. Namun saat ini, peran mereka sudah jauh berkurang bahkan tidak lagi signifikan.

"Sebaliknya, pengembang swasta justru semakin menguasai peran pembangunan rumah rakyat yang mencakup hampir 90 persen pasokan rumah secara Nasional," ungkap Panangian.

Hal senada dikatakan Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Arief Sabaruddin.

Menurutnya, BUMN Karya lain sudah banyak yang fokus dan memasok rumah-rumah komersial.

"Perumnas harus ada perlakuan dan penugasan khusus. Kembali pada khittahnya menyediakan hunian untuk rakyat," imbuh Arief kepada Kompas.com, Sabtu (2/10/2021).

Revolusi perumahan

Jadi, timpal Panangian, jangan pernah lagi bermimpi membandingkan Perum Perumnas dengan HDB Singapura.

Baca juga: Beli atau Sewa Rumah? Ini Tips Cerdas Bagi Milenial

Secara visi dan terobosan saja sudah jauh berbeda, konon pula dalam tataran praksis. Hal ini diperparah ketiadaan kementerian khusus perumahan rakyat yang dilikuidasi sejak Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menjabat pada 2014 lalu.

Oleh karena itu, harus ada revolusi besar-besaran, karena Indonesia masih setengah-setengah dalam mengatasi masalah di sektor perumahan.

Padahal ketimpangan ketersediaan pasokan dan kebutuhan hunian sudah demikian lebar, yakni di atas 11 juta unit.

Revolusi dimulai dari Pemerintah dalam menciptakan visi dan terobosan baru, jangan setengah-setengah, siapkan pendanaan, regulasi yang mendukung, dan pertanahan.

Di segmen pendanaan, Indonesia harus betul-betul menyiapkannya. Contohlah Singapura, Malaysia, Rusia, dan China yang sudah memiliki semacam central provident fund (CPF) atau tabungan wajib bagi penduduk yang bekerja terutama untuk mendanai kebutuhan pensiun, kesehatan, dan perumahan mereka.

Di Singapura, CPF dikelola oleh sebuah badan hukum yang bertanggung jawab kepada Departemen Tenaga Kerja. Pengusaha harus berkontribusi 16 persen dari total gaji pokok bulanan karyawan.

Sementara penghasilan karyawan dipotong 20 persen dari penghasilan bulanannya.

"Kalau Pemerintah mau mengambil jalan itu, sudah bagus. Tapi apakah Pemerintah mau? Bikinlah itu Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR satu pendapat dan tujuan. Termasuk itu lembaga Sarana Multigriya Finansial atau juga PPDPP yang sekarang cuma jadi alat birokrat saja," tuntas Panangian.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com