Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius Untung S
Praktisi Neuromarketing dan Behavioral Science

Praktisi Neuromarketing dan Behavioral Science

Brand Besar, Social Proof dan Kekuatan Efek Placebo

Kompas.com - 14/04/2021, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MErek yang digunakan figur publik dan KOL seringkali memiliki placebo effect, membuat seolah-olah khasiatnya sangat nyata bahkan ketika sesungguhnya tidak sebegitu nyata manfaatnya.

Hal ini terjadi karena kita menggunakan social proof dari bagaimana orang-orang di sekeliling kita dan tokoh-tokoh menggunakan brand tersebut sebagai validasi akan kualitasnya.

Otak kita yang “malas” ini memilih untuk mempercayai social proof ketimbang mencari tahu dan membuktikannya sendiri.

Placebo juga dibentuk oleh commitment bias, yaitu tendensi untuk tetap berpegang teguh pada keyakinan/komitmen di awal, bahkan ketika sesungguhnya kita tidak merasakan manfaatnya.

Dorongan secara bawah sadar untuk menghindari malu ketika kita salah memilih atau meyakini sebuah produk mendorong kita untuk mensugesti diri kita untuk mempercayai produk tersebut berkhasiat baik.

Dan ketika ini terjadi dalam skala besar, maka orang-orang di luar kelompok itu akan mengikuti atas dorongan fear of missing out (FOMO).

Sayangnya tidak banyak dari mereka yang berpikir bahwa semua orang yang melakukan hal yang sama ini juga bisa berpikir sama, mereka menyugesti keyakinannya karena social proof-nya, padahal tidak terasa nyata manfaatnya.

Commitment bias ini pula yang menyugesti pikiran kita secara bawah sadar untuk membentuk persepsi bahwa makanan mahal yang kita makan memiliki rasa yang nikmat.

Pada akhirnya rasa bukan lagi domainnya lidah dan indra perasa semata, namun otak melalui persepsi dan sugesti.

Persis seperti yang terjadi pada Pepsi Challenge yang secara blind test lebih banyak unggul dari Coca-Cola namun selalu kalah jika dilakukan tes dengan kesadaran penuh responden mengenai merek apa yang mereka konsumsi.

Kekuatan brand Coca-Cola menyugesti responden untuk merasakan Coca-Cola lebih nikkmat. Namun ketika mereknya disembunnyikan, placebonya hilang, dan orang memilih Pepsi.

Placebo juga dipengaruhi oleh bagaimana cerita tentang merek yang bersangkutan tercipta dan menyebar.

Otak kita selalu tertarik dengan cerita, dan maka dari itu cerita cenderung lebih dipercaya.

Semakin mendetail sebuah cerita dan semakin menarik sebuah cerita secara emosi semakin kuat pula placebo efek yang ditimbulkan.

Maka dari itu merek-merek besar seperti Nike dan Apple tidak pernah berhenti untuk menyebarkan brand story-nya.

Pada akhirnya merek-merek besar yang sudah membangun cerita, menciptakan dan mempertontonkan banyak social proof, memiliki efek placebo yang semakin dahsyat.

Sedahsyat kita yang merasa lebih fit, lebih gesit ketika menggunakan sepatu Nike. Senyata kita yang merasa kreatif dan eksklusif ketika menggunakan produk Apple.

Sebegitu percaya dirinya ketika menggunakan pakaian dalam Victoria Secret bahkan ketika tidak ada yang tahu merek pakaian dalam yang kita gunakan selain kita sendiri.

Kita adalah produk pikiran kita, we are what we believe. Dan tugas merek untuk menciptakan the best version of our consumer with the support of our brand.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com