"Kalau kayak kemarin saya hampir black out (pingsan) itu sebenarnya boleh buka. Karena sudah menyakiti diri sendiri, gitu kan?" katanya.
"Tapi kalau istilahnya kayak, 'Ah enggak apa-apa, saya istirahat dulu, saya coba dulu' dan ternyata bisa, ya lebih baik."
Baca juga: Cerita WNI di AS, Manfaatkan Libur Akhir Tahun untuk Kerja Jadi Penjaga Rumah
Pengalaman Ryan berbeda dengan warga Indonesia lainnya di Adelaide, yaitu Nazira Andjani, akrab disapa Jani.
Jani bekerja sebagai business support officer di Adelaide Festival Centre dan menghabiskan waktu kerjanya di dalam ruangan ber-AC.
Tapi tetap saja ada tantangannya.
"Waktu hari pertama (Ramadhan) walaupun saya bekerja di kantor... saya harus commute (berangkat) dari rumah ke kantor naik bus," kata Jani.
"Itu sudah terasa panas banget."
Jani yang sudah empat tahun tinggal di Adelaide mengatakan, puasa tahun ini adalah yang tersulit karena jatuh setelah musim panas baru berakhir.
Australia memiliki empat musim, yang tiap musim bertahan tiga bulan. Musim panas di Australia dimulai Desember hingga Februari, tapi suhu di bulan Maret masih tinggi.
"Tiga tahun pertama itu puasanya waktu musim dingin dan belum daylight saving," katanya.
"Jadi ini puasa pertama saya yang daylight saving dan panas."
Daylight saving terjadi di saat musim panas, saat waktu dimundurkan satu jam agar tetap memanfaatkan sinar matahari.
Ini berarti siang lebih panjang dan orang-orang akan terekspos kepada sinar matahari lebih lama.
"Kalau kita bandingkan dengan Indonesia, mungkin puasa sekitar 13 jam, kalau kita agak lebih lama," katanya.
"Tapi Alhamdulillah ya orang-orang kantor pun terbuka dan suportif dengan keyakinan saya... mereka menyemangati."
Baca juga: Cerita WNI di Gaza, Bertahan di Tengah Perang Israel-Hamas