Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

William Lai Jadi Presiden Baru Taiwan, Bagaimana Hubungannya dengan China?

Kompas.com - 21/01/2024, 19:02 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

"Saya tidak berpikir akan ada perang, namun saya pikir RRC akan tetap tidak mengangkat teleponnya," kata Nachman, seraya menambahkan bahwa "hubungan yang lebih dingin" diperkirakan akan berlarut-larut dan Lai kemungkinan besar tidak akan melakukan hal untuk mengubah status quo.

Sementara Chong Ja Ian, profesor ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, mengatakan kepada DW bahwa Xi Jinping memang tidak puas dengan hasil pemilu Taiwan dan ingin meningkatkan tekanan terhadap Taiwan.

Namun, Xi juga diperkirakan "khawatir akan terjadinya eskalasi yang tidak terkendali pada saat perekonomian RRC sedang terpuruk."

Dalam pidato kemenangannya pada Sabtu (13/1/2024), Lai berjanji akan bertindak sesuai dengan konstitusi "Republik China," nama resmi Taiwan, dengan cara yang "mempertahankan status quo lintas selat.”

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dalam pernyataan ucapan selamat kepada Taiwan menegaskan kembali komitmen untuk "menjaga perdamaian dan stabilitas lintas selat." Dia juga berjanji untuk melanjutkan "hubungan tidak resmi yang telah lama terjalin.”

Baca juga: Apa Itu ADIZ dan Garis Tengah Selat Taiwan, 2 Lokasi Konflik dengan China

Ujian nyata bagi pemerintahan Taiwan

Para pakar juga percaya bahwa parlemen baru akan menjadi ujian besar bagi kepemimpinan Lai. Hal ini mengingat fakta bahwa tidak ada partai politik yang mendapatkan mayoritas absolut di badan legislatif.

Chong, profesor politik di Singapura, menjelaskan bahwa "seorang presiden tanpa (dukungan) mayoritas legislatif harus menangani agenda legislatifnya, yang dapat memengaruhi kebijakan luar negeri."

Di parlemen Taiwan yang memiliki 113 kursi, DPP kehilangan 11 kursi pada pemilu terakhir, sehingga memberikan dominasi kepada KMT, yang memperoleh 52 kursi. Sementara TPP yang hanya memiliki 8 kursi, siap menjadi minoritas penting.

Situasi serupa, ketika partai berkuasa gagal memperoleh mayoritas, terjadi pada 2000 ketika mantan Presiden Chen Shui-bian dari DPP terpilih.

Profesor Chong mengatakan, ada saat-saat ketika Chen Shui-bian semakin frustrasi, ia mulai menyusun kebijakan lintas selat dengan cara yang lebih berisiko, termasuk kebijakan "Satu Negara di Setiap Sisi" yang mengindikasikan China dan Taiwan adalah dua negara berbeda.

Meskipun karakter William Lai Ching-te terlihat berbeda dengan karakter Chen Shui-bian, Chong menekankan, "tidak ada yang tahu pada saat ini" bagaimana pemimpin baru akan merespons tekanan ekstrem ketika berdiri di posisi teratas.

Baca juga: Kenapa China dan Taiwan Bermusuhan?

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Ke Mana Arah Hubungan Taiwan-China di Bawah Pemimpin Baru?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com