Serangan pada Jumat (12/1/2024) mungkin juga telah menurunkan dan menghancurkan sebagian kemampuan Houthi dalam melancarkan serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah.
Namun, kelompok Houthi mampu bertahan dalam keadaan yang jauh lebih buruk--termasuk bertahun-tahun menjadi sasaran Angkatan Udara Saudi.
Setidaknya di depan umum mereka tetap tak tergoyahkan. Mereka masih memiliki kapasitas untuk melancarkan serangan lebih lanjut.
Satu-satunya pilihan nyata yang tersisa bagi AS dan Inggris adalah melakukan hal yang sama--serangan dari jarak jauh.
AS mempunyai pengalaman pahit baru-baru ini mengenai tindakan militer yang lebih langsung di wilayah tersebut--seperti menempatkan pasukan di lapangan.
Baca juga: Australia Bantu AS dan Inggris Serang Houthi di Yaman
Sebagian besar serangan berasal dari jet AS. AS memiliki kapal induk di Laut Merah, serta pangkalan udara di wilayah tersebut.
Kapal perang Angkatan Laut AS menembakkan rudal jelajah serangan darat Tomahawk yang dipandu GPS, kata militer AS.
Meskipun tidak ada angka spesifik yang diberikan mengenai berapa banyak rudal yang ditembakkan, AS mengatakan lebih dari 100 amunisi berpemandu presisi “dari berbagai jenis” digunakan.
Meskipun Angkatan Laut Kerajaan Inggris memiliki dua kapal perang di Laut Merah, keduanya tidak dapat menembakkan rudal serangan darat sehingga tidak terlibat langsung dalam serangan tersebut.
Menanggapi serangan pada Jumat, pemimpin Houthi Mohammed Al Bukhaiti mengatakan, AS dan Inggris akan “segera menyadari” tindakan tersebut adalah “kebodohan terbesar dalam sejarah mereka”.
“Amerika dan Inggris melakukan kesalahan dalam melancarkan perang terhadap Yaman karena mereka tidak belajar dari pengalaman mereka sebelumnya,” tulisnya di media sosial.
Dia menambahkan “setiap individu di dunia ini dihadapkan pada dua pilihan--berdiri bersama para korban genosida atau membela para pelakunya."
Juru bicara lain dari kelompok tersebut mengatakan, Amerika dan Inggris salah jika berpikir bahwa mereka dapat menghalangi dukungan Yaman terhadap Palestina.