Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kudeta Myanmar Timbulkan Perang Saudara, Warga Sipil Menderita

Kompas.com - 02/01/2024, 21:38 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

"Saya tidak menyangka ini akan membuat saya lumpuh. Saya hanya mengobati luka ini dengan bantuan rekan-rekan sambil berpikir bahwa saya akan kembali berdiri dan bertarung," kata Mg Si.

Dia tidak punya uang untuk pergi berobat ke dokter spesialis di India. Rumah sakit-rumah sakit besar di wilayah ini telah hancur atau berada di bawah kendali militer.

Karena tidak bisa ikut

Bergerilya, ia menghabiskan banyak waktu bersama keluarganya.

"Karena kami terjebak di sini saat ini, saya harus tetap di sini. Saya tidak tahu kapan ini akan berakhir. Sekarang, istri saya harus mengurus kebutuhan saya," katanya.

Mg Si mengatakan, bagian terburuk dari cederanya bukanlah fisik, melainkan rasa malu yang dia rasakan karena membebani keluarga.

Mereka tidak lagi mempunyai penghasilan karena ia tidak bisa bekerja. Dia mengompol dan istri serta putrinya harus merawatnya. Putrinya tidak bisa bersekolah karena dia.

Dia bilang dia tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Hanya ada sedikit sumber daya yang bisa mencapai kamp ini. Saat menceritakan kisahnya, dia menatap kosong ke kejauhan.

Baca juga: Kelompok Anti-Junta Klaim Jatuhkan Jet Tempur Militer Myanmar

Pendidikan anak jadi tantangan besar

Jika putrinya bisa bersekolah, dia akan berada di beberapa kelas satu ruangan yang terletak di antara pepohonan lebat di sini.

Para relawan mengatakan, kelas-kelas tersebut dibatasi ukurannya dan disebar untuk menghindari deteksi militer. Setiap pertemuan besar, bahkan ruang kelas, dapat menjadi target.

Di salah satu kelas, Khin Sabal Phyo mengajar sekitar belasan siswa sekolah dasar. Saat kudeta terjadi, ia tengah menempuh studi ilmu sejarah di sebuah universitas di Kota Kale. Perempuan berusia 23 tahun ini meninggalkan studinya sebagai bentuk protes.

Dia mengatakan, tidak ingin dapat ijazah saat rezim militer berkuasa. Dia tidak sendirian. Tahun ini, jumlah siswa yang mengikuti ujian penempatan nasional di universitas hanya seperlima dari jumlah siswa yang mengikuti ujian penempatan nasional di masa pemerintahan sipil.

Sekarang dia menjadi sukarelawan, mencoba mengajar kelas anak-anak tanpa pengalaman sebagai guru atau perlengkapan yang memadai. Dia mengatakan, militer membakar habis sekolah di desa tersebut, termasuk juga buku-buku pelajaran yang berharga.

Pemerintah Persatuan Nasional yang bersifat sipil telah mengumpulkan dana untuk pendidikan di luar jangkauan militer, seperti ruang kelas tempatnya mengajar. Namun dukungan tersebut sangatlah terbatas.

Guru lain bernama Rosie sedang memimpin kelas siswa sekolah menengah saat DW datang. Sebelum perang, Rosie juga sudah bekerja sebagai guru. Namun dia bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), yakni gerakan pemogokan massal pegawai pemerintah setelah kudeta. Diperkirakan jumlah guru CDM seperti Rosie mencapai lebih dari 130.000 orang.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com