Dalam perang masa lalu, Gereja Santo Porphyrius dan Gereja Keluarga Kudus membuka pintunya bagi ratusan orang, Kristen maupun Muslim, untuk berlindung di dalam tembok-tembok mereka.
Pada kesempatan ini, kata Isaac, "para pastor menyadari sejak awal bahwa ini akan menjadi perang yang panjang, sehingga mereka segera memanggil semua orang Kristen untuk berlindung di gereja."
Konflik yang terjadi Gaza juga dirasakan di Tepi Barat, yang mengalami peningkatan serangan oleh pemukim Israel terhadap warga Palestina.
Sejak 7 Oktober lalu, lebih dari 280 warga Palestina tewas, termasuk 63 anak, di wilayah Tepi Barat.
Betlehem, yang letaknya hanya belasan kilometer dari Yerusalem, dikelilingi oleh permukiman Israel, dan penduduknya juga mengalami ketegangan yang meningkat.
"Para pemukim (Yahudi) merasa ini adalah kesempatan mereka, karena tidak hanya perhatian semua orang berpusat pada Gaza, tetapi tidak ada yang meminta pertanggungjawaban atau mengendalikan mereka.
“Mereka melakukan apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka bisa," ujar Pastor Munther Isaac.
Dalam dua bulan terakhir, kata Pastor, serangan militer Israel di Betlehem meningkat, dan banyak penduduk takut untuk melakukan perjalanan antarkota karena jalanan dikendalikan oleh tentara dan di sinilah para pemukim cenderung paling aktif.
Baca juga: Jumlah Korban Tewas di Gaza Tembus 18.800 Orang, Warga Pertanyakan Mengapa Ikut Diserang
Kota yang saat Natal biasanya paling ramai dengan kedatangan ribuan umat Kristiani yang ingin mengunjungi Basilika Kelahiran, situs Kristen tertua di dunia yang dulu terus-menerus dikunjungi.
Kini, suasananya sudah sangat berbeda dalam beberapa hari terakhir jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Lapangan Palungan, yang terletak di depan Basilika Kelahiran, hampir kosong meskipun sudah mendekati Natal. Di sinilah, para peziarah biasa berkunjung ke Yerusalem.
Kendati begitu, Lapangan Palungan merupakan tempat di mana Natal dirayakan tiga kali setahun: ritus Barat memulai perayaan pada 24 Desember, sementara gereja-gereja Ortodoks merayakannya pada 6 Januari dan orang-orang Armenia pada 19 Januari.
Namun, kesepian ini berimbas pada hotel, restoran, toko oleh-oleh, dan para pengrajin yang membuat patung-patung dan salib kayu zaitun. Padahal, mereka biasa mendapatkan dukungan ekonomi dari perayaan Natal bagi sebagian besar penduduknya.
Sejak 7 Oktober, pelaku bisnis perhotelan menerima pembatalan reservasi satu demi satu, juga untuk pesanan tahun depan, seperti yang diberitakan kantor berita Reuters.
Saat ini, kebanyakan doa-doa berfokus pada berakhirnya perang, meskipun Munther Isaac mengakui bahwa sulit bagi mereka untuk mempertahankan harapan:
"Di palungan kami, Yesus adalah harapan dan iman kami. Bukan perang, bukan belahan dunia lain, bukan politisi. Kami telah putus asa dengan komunitas internasional yang datang membantu kami," jelas Pastor Munther Isaac.
“Kami telah menyadari bahwa harapan terletak pada persatuan kami sebagai umat. Ini bukan waktunya untuk mengharapkan masa depan yang lebih baik, ini adalah waktu untuk berharap dan berdoa agar perang ini berakhir," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.