Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Astropolitik: Pertarungan Geopolitik di Luar Angkasa

Kompas.com - 30/05/2023, 10:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketiga adalah Lunar Space, yaitu di antara orbit geosinkron dengan orbit bulan.

Keempat adalah Solar Space, mencakup seluruh ruang di sistem tata surya melebihi ketinggian orbit bulan.

Dalam beberapa dekade kedepan, Earth Space akan menjadi wilayah antariksa yang paling vital di antara yang lainnya, dikarenakan di ruang inilah satelit komunikasi dan satelit militer berbagai negara beroperasi.

Di wilayah antariksa ini jugalah berbagai pesawat luar angkasa yang akan melakukan perjalanan menuju ke bulan melakukan refueling.

Sehingga, kontrol negara atas ruang antariksa ini dapat membuat negara tersebut seolah-olah sebagai “gatekeeper” bagi pelaku perjalanan luar angkasa demi menjangkau jarak yang lebih jauh.

Tim Marshall, dalam bukunya berjudul “The Power of Geography: Ten Maps that Reveal the Future of Our World”, mengemukakan bahwa setidaknya terdapat sepuluh wilayah di dunia yang akan menjadi bagian dari penentu arah rivalitas negara-negara adidaya masa depan.

Secara mengejutkan, meskipun sembilan dari sepuluh wilayah tersebut berada di planet bumi, ia menyebut bahwa luar angkasa akan menjadi domain ke sepuluh sebagai penentu arah rivalitas geopolitik masa depan.

Hal ini didasarkan pada semakin intensnya perkembangan “space race” yang dilakukan oleh negara-negara maju saat ini, hingga memunculkan rivalitas seperti yang terjadi pada masa perang dingin.

Pada 2020 misalnya, perjanjian Artemis Accord yang berisi berbagai kesepakatan dan peraturan bagi pelaksanaan eksplorasi serta ekstraksi sumber daya alam yang ada di bulan dilakukan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Uni Emirat Arab, Inggris, Italia, Kanada, Australia, dan Luxembourg.

Perjanjian yang ditandatangani pada 13 Oktober 2020 tersebut dalam perkembangannya juga diikuti oleh negara-negara sekutu Amerika Serikat lainnya, dengan tujuan meraih ambisi mendaratkan astronot wanita pertama sekaligus manusia ke-13 di bulan pada 2024.

Rencananya, aksi monumental tersebut juga dibarengi bersama dengan pendaratan salah seorang astronot pria berkulit hitam pertama di bulan, dan menjadikannya sebagai simbol inklusivitas bagi penjelajah luar angkasa yang notabene didominasi oleh orang-orang dengan ras kulit putih.

Semua ini hanyalah awal dari proyek besar dibuatnya markas luar angkasa di bulan pada 2028, demi kepentingan ekstraksi sumber dayanya dan penelitian.

Sayangnya, meskipun memiliki kapabilitas antariksa yang juga memadai, Rusia dan China tidak ikut ambil bagian dalam perjanjian Artemis Accord.

Layaknya negara-negara maju lainnya, Rusia dan China sebenarnya tertarik dengan ide-ide eksplorasi luar angkasa. Akan tetapi, meskipun bisa saja mereka ikut berpartisipasi, kedua negara tersebut memiliki kemungkinan untuk tidak diikutsertakan di berbagai aktivitasnya.

Mengapa demikian? Fakta menunjukkan bahwa hal ini diakibatkan dari adanya intervensi politik Amerika Serikat di dalamnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com