Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Kaum Muda Menulis Sejarah Baru Politik Thailand

Kompas.com - 25/05/2023, 12:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK revolusi Siam 1932 mengubah Thailand dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional, sejarah politik Thailand hanya berpusat pada dua kutub yang silih berganti untuk berkuasa: militer dan politik dinasti.

Namun, pada Pemilu hari Minggu, 14 Mei lalu, kehendak bebas rakyat Thailand lewat kotak suara menghendaki sejarah politik Thailand ditulis ulang. Dan sejarah baru itu akan ditulis oleh kaum muda.

Dalam pemilu ke-28 dalam sejarah politik negeri itu, Partai Bergerak Maju (Move Forward Party), yang digawangi oleh anak-anak muda, berhasil suara terbanyak: 14,2 juta suara (38,5 persen) dan merebut 152 kursi.

Paetongtarn Shinawatra, pemimpin Partai Pheu Thai sekaligus anak mantan PM Thaksin Shinawatra.ZUMA WIRE/IMAGO/PEERAPON BOONYAKIAT via DW INDONESIA Paetongtarn Shinawatra, pemimpin Partai Pheu Thai sekaligus anak mantan PM Thaksin Shinawatra.
Sementara partai Pheu Thai, yang pimpinannya juga politisi berusia muda, Paetongtarn Shinawatra (36 tahun), putri dari mantan Perdana Menteri sekaligus salah satu dinasti politik di Thailand, Thaksin Shinawatra, meraih suara terbanyak kedua: 10,6 juta suara (27.66 persen) suara dan merebut 141 kursi.

Dengan demikian, dua partai oposisi yang dipimpin anak muda merebut sekitar 70 persen suara dan menguasai 293 kursi dari 500 kursi Majelis Rendah.

Sementara dua partai yang dipimpin oleh Jenderal pendukung junta militer, Partai Thailand Bersatu (United Thai Nation Party) dan Partai Palang Pracarath, masing-masing hanya mendapat 11,9 persen dan 1,35 persen suara. Gabungan perolehan kursi keduanya hanya 77 kursi.

Pasang politik progresif kaum muda

Thailand merupakan negara Asia Tenggara dengan tradisi politik progresif paling kecil. Satu-satunya periode politik progresif negeri Gajah Putih ini adalah pada 1946 di bawah Perdana Menteri Pridi Banomyong.

Pridi, yang memimpin faksi sipil dalam Revolusi Siam 1932, dikenang sebagai bapak demokrasi Thailand. Warisannya adalah Universitas Thammasat, kampus yang terkenal dengan tradisi progresifnya.

Seperti di Indonesia, gerakan kaum muda memainkan peranan penting dalam hampir semua persimpangan sejarah politik Thailand.

Mulai dari gerakan mahasiswa yang menentang kediktatoran tahun 1970-an hingga gerakan pro-demokrasi pada 1992. Dan kampus Thammasat selalu menjadi titik awal sekaligus poros perlawanan.

Tidak mengherankan, pada 1976, ketika militer dan sayap kanan melakukan pukulan balik, kampus ini yang menjadi tempat yang berdarah: pembantaian 6 Oktober 1976 atau pembantaian Thammasat.

Pada 2018, setelah satu dekade lebih protes jalanan anti-junta dimotori oleh jejaring politik Thaksin Shinawatra dan gerakan kaos merahnya, kaum muda mulai menggagas politik alternatif juga di kampus Thammasat.

Pada Maret 2018, puluhan anak muda dari lintas kelas, dari pengusaha, akademisi, hingga aktivis, mendirikan partai politik baru: Partai Masa Depan Maju atau Future Forward Party (FFP).

Dua tokoh kunci partai anak muda ini, Thanatorn Juangroongruangkit dan Piyabutr Saengkanokkul, adalah jebolan Universitas Thammasat.

Haluan politik yang diambil oleh FFP adalah progresif. Tak hanya menentang dominasi militer dan monarki dalam politik, partai ini juga bicara keadilan ekonomi.

Uniknya, meski dicap progresif dan mengklaim sebagai penyambung lidah rakyat jelata, pimpinan partainya adalah anak muda yang masuk daftar orang terkaya di Thailand.

Thanatorn Juangroongruangkit, sang Ketua FFP, adalah pemilik Thai Summit Group, produsen suku cadang otomotif terkemuka di Thailand.

Soal itu, Thanatorn punya jawaban menarik. “Saya memang dari kaum 1 persen, tetapi saya membela kaum 99 persen,” katanya, seperti dikutip Bangkok Post, pada 1 November 2018.

FFP menghadirkan apa yang mereka sebut sebagai politik jalan ketiga (Third Way). Mereka mencoba membawa rakyat Thailand keluar dari jebakan politik pertarungan antara Thaksin Shinawatra dengan kaos merah versus kaum royalis (pendukung Monarki) dan militer dengan gerakan kaos kuningnya. Mereka menghadirkan warna baru: oranye.

Gebrakan politik FFP menuai dukungan elektoral. Pada pemilu 2019, FFP berhasil merebut 17,3 persen suara dan menjadi kekuatan politik terbesar ketiga di Thailand.

Sayang sekali, sebagai reaksi balik dari status-quo yang terancam, pada 2020, partai ini dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand karena dianggap menerima dana donasi kampanye ilegal dari Ketua partainya sendiri.

Pembubaran FFP memicu protes kaum muda yang segera berkembang menjadi demonstrasi kaum muda terbesar di negeri itu pada 2020-2021.

Menariknya, protes ini tak hanya mempersoalkan dominasi militer dalam politik, tetapi juga memprotes sesuatu yang tabu di Thailand: monarki.

Bersamaan dengan letupan protes sosial itu, pada 8 Maret 2020, Pita Limjaroenrat dan 55 anggota parlemen dari FFP membentuk partai baru: Partai Bergerak Maju (Move Forward Party).

Partai baru ini nyaris tak ada bedanya dengan FFP, hanya berganti baju, tetapi warnanya tetap sama.

Kemunculan Partai Bergerak Maju (MFP) menunjukkan napas panjang partai anak muda di Thailand yang tak kapok direpresi oleh penguasa militer dan terus berjuang untuk perubahan.

Kehendak perubahan

Hasil pemilu Thailand pada hari Minggu itu membawa pesan yang jelas: rakyat Thailand, terutama kaum muda, tidak lagi nyaman hidup di bawah junta militer dan monarki.

Tajuk rencana koran Thailand, Bangkok Post, melukiskan gelombang perubahan itu dengan pernyataan yang menarik.

Angkatan bersenjata bisa saja melancarkan kudeta berulang kali dengan senjata di tangan mereka, tetapi rakyat biasa pada akhirnya akan mengirim mereka kembali ke barak hanya dengan kertas dan pena.”

Di kota Bangkok, yang jadi pusat aksi protes 2020-2021, dari 33 kursi yang diperebutkan, MFP meraih 32 kursi. MFP juga meraih suara mutlak di Chiang Mai, Phuket, Chonburi, Nonthaburi, Pathum Thani, dan lain-lain.

Hanya saja, politik Thailand unik. Pemenang pemilu tidak otomatis bisa membentuk pemerintahan.

Berdasarkan konstitusi yang dibuat Junta Militer pada 2007, Perdana Menteri dipilih oleh 500 anggota Majelis Rendah dan 250 anggota Senat. Untuk bisa membentuk pemerintahan, MFP dan koalisinya membutuhkan 376 kursi.

Masalahnya, 250 anggota Senat itu hasil penunjukan langsung oleh junta militer. Mereka akan menjadi ganjalan bagi Pita Limjaroenrat dan MFP untuk membentuk pemerintahan.

Sejauh ini, Pita dan koalisinya baru mengumpulkan 310 kursi. Tentu saja itu tantangan berat. Agar bisa berkuasa, Pita dan MFP dipaksa untuk menggalang koalisi selebar-lebarnya, termasuk pada kekuatan non-demokratik.

Untuk meraih dukungan sebagian Senat, Pita dan MFP dituntut untuk melunakkan tuntutannya.

Namun, dari sejumlah pemberitaan, Pita dan MFP tampaknya tidak akan melunak. Mereka akan terus maju dengan agenda demokratisasi, desentralisasi, dan demonopolisasinya.

Boleh jadi upaya mereka akan dihadang oleh skenario busuk seperti yang dialami oleh FFP, atau penghianatan dari Pheu Thai, atau bahkan kudeta militer lagi.

Namun satu hal yang pasti: rakyat Thailand sudah tidak lagi nyaman di bawah bayang-bayang dominasi militer dan monarki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com