Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Meriance, Pekerja Migran Indonesia yang Selamat dari "Neraka" di Malaysia, Disiksa Secara Kejam

Kompas.com - 02/03/2023, 21:31 WIB
BBC News Indonesia,
Danur Lambang Pristiandaru

Tim Redaksi

Bertubuh gempal dan berkacamata, dia berjalan cepat.

Mengenakan celana pendek dan blus hem kotak-kotak warna krem.

BBC menyalakan rekaman video di ponsel dan menyapa Serene, "Saya Endang Nurdin, wartawan BBC."

Namun suasana berubah cepat.

BBC merasakan dorongan yang begitu keras dan langsung terhempas di atas aspal pelataran parkir. Tangan dan siku terasa nyeri.

Ponsel dirampas.

Serene masih berusaha mendekat ketika saya masih dalam kondisi terjatuh. Dia terlihat marah.

Serene langsung mengatakan "Maaf, saya tak bermaksud mendorong Anda", dan beberapa kali bertanya, "mengapa saya direkam."

Saya mencoba bangkit dan menjelaskan ke Serene bahwa kami telah mengirim surat dua kali, termasuk memberitahukan bahwa Meriance bersama kami.

Sambil berjalan kembali ke arah mobilnya, dia mengatakan akan mengontak kuasa hukumnya dan lapor ke kantor polisi.

Namun, di tengah suara keras kembang api dan petasan ini, Meriance melontarkan pertanyaan yang terpendam bertahun-tahun.

"Serene, kamu lupa saya? Masih ingat saya? Saya Meri. Salah saya apa, mengapa kamu siksa saya?"

Pertanyaan yang tidak diindahkan Serene yang langsung pergi mengendarai mobilnya.

Saya sangat terkejut dan cukup ketakutan dalam insiden yang hanya berlangsung beberapa menit itu. Meriance justru berusaha menenangkan saya dengan terus mengusap pundak saya.

Bulan berikutnya, BBC mendapatkan surat dari kuasa hukum Serene yang mengklaim bahwa kami "menguntit, melecehkan, menyergap dan menyudutkannya."

Baca juga: Serang Majikan, Pekerja Migran Indonesia di Taiwan Ditangkap Polisi

Korban terus berjatuhan

Cerita Meriance - menurut Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hermono - merupakan salah satu dari sekian banyak korban perdagangan manusia yang rentan menghadapi penganiayaan dan penyiksaan - dan dialami banyak pekerja rumah tangga di Negara Jiran ini.

"Kasus Meriance adalah kasus klasik (perdagangan manusia), dari dulu sampai sekarang. Saya tak tahu, kapan ini akan berakhir. Yang kita tahu korban terus berjatuhan, dari penyiksaan, gaji tidak dibayar dan lain-lain. Ini adalah contoh yang sempurna, banyak sekali WNI yang bekerja di sektor rumah tangga yang menjadi objek perdagangan orang," kata Hermono.

Karena sudah mengirim surat ke pemerintah Malaysia, Hermono mengatakan, "Kita lihat saja, bagaimana surat kita yang meminta penjelasan kapan kasus Meriance akan disidang kembali."

Ketika tim BBC berada di Kuala Lumpur pada Oktober 2022, KBRI Malaysia tengah menangani kasus penyiksaan pekerja rumah tangga lain, juga oleh majikan.

Penyiksaan pekerja lain ini disebut disiksa secara di luar nalar kemanusiaan dengan badan lebam akibat dipukul dan juga ada luka bakar, dan dalam kondisi kurus kering karena tidak diberi makan, dengan berat badan turun 30 kilogram, saat diselamatkan, katanya.

Majikan dalam kasus penyiksaan ini tengah diadili.

Kantor Kejaksaan Agung Malaysia menolak berkomentar ketika BBC menanyakan kasus-kasus penganiayaan termasuk kasus Meriance.

Sementara Kementerian Luar Negeri Malaysia mengatakan, pemerintah tengah mengkaji kasus-kasus penganiayaan yang menimpa para pekerja rumah tangga Indonesia dan akan memastikan keadilan akan ditegakkan berdasarkan hukum negara itu.

Seorang pekerja rumah tangga Indonesia lain, Adelina Sau, terlambat untuk diselamatkan ketika ditemukan penuh luka di beranda rumah majikannya di Penang pada 2018.

Majikan Adelina, Ambika Shan dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Penang pada April 2019 karena permintaan jaksa untuk dibebaskan tanpa dilepaskan, DNAA. Jaksa mengajukan banding namun Mahkamah Persekutuan mengukuhkan putusan pada Juni tahun lalu.

Adelina berasal dari kabupaten yang sama dengan Meriance, Timor Tengah Selatan.

Adelina termasuk satu dari lebih 700 tenaga kerja asal NTT yang kembali dalam peti mati akibat berbagai sebab, termasuk penyiksaan dalam sembilan tahun terakhir.

Angka dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) NTT ini adalah sejak 2014 sampai akhir 2022. Sebagian besar PMI dari berbagai sektor ini adalah pekerja gelap dan banyak yang merupakan korban perdagangan manusia.

"Saksi mata itu hanya saya dengan majikan… Kalau saya mati, dia senang. Teman-teman yang sudah meninggal, majikan berteriak, lompat-lompat senang karena buktinya di mana? Kirim peti mati, sumbang uang, beli semen, cor kuburan, selesai kan," kata Meriance dengan nada tinggi.

Baca juga: Terjang Halangan, KBRI Damaskus Sukses Pulangkan 102 Pekerja Migran Indonesia

Mama jangan sedih, suara Adelina ada di saya, kata Meriance saat bertemu ibu Adelina Sau.BBC INDONESIA Mama jangan sedih, suara Adelina ada di saya, kata Meriance saat bertemu ibu Adelina Sau.

Perjuangannya, kata Meri, adalah juga untuk semua yang tak selamat.

Saat bertemu dengan ibu Adelina Sau, Yohana Banunaek, Meri memintanya untuk kuat.

"Mama harus kuat dan tidak boleh sedih lagi, walaupun Adelina sudah meninggal tapi suara Adelina ada di saya," katanya.

Pelajaran bagi warga desa lain

Jalan berbatu selama sekitar lima jam untuk menuju desa asal Meriance.BBC INDONESIA Jalan berbatu selama sekitar lima jam untuk menuju desa asal Meriance.

Di desa asal Meri, kampung tanpa jaringan telepon, dengan kondisi jalan menuju ke desa berbatu-batu besar.

Mobil sering berhenti untuk memastikan jalan bisa dilalui.

Menjelang senja, ada satu sungai kering berbatu besar yang harus dilalui, satu jam sebelum tiba di Desa Poli.

Sejumlah ibu dan anak-anak membawa jerigen plastik di atas kepala mereka untuk mengambil air di salah satu mata air kecil. Beberapa ibu sibuk mencuci pakaian.

Meri mengenal sebagian besar warga desa yang tengah mengambil air itu.

Warga desa harus berjalan jauh untuk mengambil air bersih.BBC INDONESIA Warga desa harus berjalan jauh untuk mengambil air bersih.

Ia dan anggota keluarganya juga melakukan hal yang sama, berjalan jauh sekitar satu jam, hanya untuk mencari air bersih.

Setelah melalui sungai yang lebarnya sekitar dua ratus meter, kondisi jalan berbatu kembali menanjak ke perbukitan.

Suasana sudah gelap. Tak ada jaringan listrik. Hanya ada beberapa sinar lampu tenaga surya yang temaram ketika tiba di Poli.

Dua orang tua Meriance menyambut kami.

Meriance berharap pengalamannya dapat menjadi pengalaman bagi warga lain.BBC INDONESIA Meriance berharap pengalamannya dapat menjadi pengalaman bagi warga lain.

Keduanya mengatakan tidak akan membiarkan anak-anak mereka atau sanak keluarga untuk mencari pekerjaan ke Negeri Jiran lagi.

"Kami ada hasil tani, ada ubi, ada jagung, cukup untuk kami makan, dan hidup dengan tenang, daripada disiksa dan kami dihina," kata ayah Meri.

Warga di desa-desa terpencil seperti inilah yang menjadi sasaran para pelaku perdagangan manusia.

Janji pekerjaan bagus untuk hidup yang lebih layak menjadi iming-iming yang menggiurkan.

Namun bagi Meriance, pengalaman buruk yang ia alami di Malaysia, ia harapkan menjadi pelajaran bagi warga desa lain yang menjadi target agar tidak mudah terbujuk.

Laporan tambahan: Raja Eben Lumbanrau

Produksi visual: Dwiki Marta

Grafik dan ilustrasi: Aghnia Adzkia, Karima Nahimi, Davies Surya, Arvin Supriyadi, dan Ayu Widyaningsih


Baca juga: 16 Pekerja Migran di India Tewas Terlindas Kereta Api Saat Pulang Kampung

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com