Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Hitam Putih Dunia di Tangan Xi Jinping

Kompas.com - 16/02/2023, 10:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Karena itu, saat perang dagang memanas, inflasi mulai datang ke negeri Paman Sam. Setengah dari defisit dagang AS dan China adalah intrafirm trade, yakni perusahaan AS yang berinvestasi dan berproduksi di China mengirim produksinya kembali ke AS.

Artinya, perusahaan-perusahaan AS meraup keuntungan besar setelah berinvestasi di China.

Di sinilah Trump juga "misses the point" soal defisit dagang AS dan China. Risikonya, AS kehilangan lebih dari 3 juta lapangan pekerjaan karena investasi pindah ke China. Nah terkait soal ini, Trump got the point.

Indonesia tampaknya juga demikian. Indonesia agak sedikit meleset memaknai defisit dagang dengan China. Defisit Indonesia jauh lebih besar dari yang tertulis di data, karena sebagian ekspor Indonesia adalah ekspor yang dilakukan perusahaan tambang milik China di Sulawesi dan Kalimantan atau perusahaan perkebunan sawit asing di Sumatera dan Kalimantan, alias bukan sepenuhnya ekspor perusahaan Indonesia.

Namun karena perhitungannya dipukul rata, maka semua yang keluar dari Indonesia akan dianggap ekspor Indonesia (model kalkulasi PDB yang baru). Padahal omset dan profitnya berada di tangan perusahaan asing. Risikonya, jika terjadi ketidakpastian ekonomi dalam negeri, perusahaan-perusahaan ini berisiko menahan dolarnya di luar negeri.

Lihat saja di Sulawesi sana, perusahaan yang menambang dan mengolah nikel mayoritas adalah perusahaan China. Atau perusahaan besar yang mengekspor CPO, sekelas Wilmar misalnya, bukan perusahaan Indonesia, meskipun komisaris-komisarisnya di perusahaan joint venture dalam negeri adalah mantan-mantan petinggi di Indonesia.

Tetapi Indonesia setidaknya masih dapat lapangan pekerjaan. Jadi sangat miris jika pekerjaan di investasi asing juga dikerjakan oleh pekerja asing. Lantas Indonesia dapat apa?

John "misses the point" soal krisis keuangan tahun 2008. China sudah nyaris mengikuti pattern negara kapitalis sampai tahun 2008. Di era Hu Jintao, kebebasan pers dan berekpresi mulai terlihat. Tetapi krisis 2008 merubah segalanya.

Setelah krisis finansial global, China mendapati sistem kapitalisme ternyata cacat dari dalam. Saat pertemuan SED (Society for Economics Dynamic) di Annapolis, Merryland, AS tahun 2008, Wang Qishan, salah satu tangan kanan Xi yang kemudian dipakai Xi untuk eksekusi kampanye antikorupsi, menyampaikan kekecewaanya kepada Hank Paulson, yang kala itu masih menjabat sebagai secretary of state era Bush Yunior.

"You were my teacher, but now here I am in my teacher’s domain, and look at your system, Hank. We aren’t sure we should be learning from you anymore", ucap Wang.

Dialog tersebut ditulis sendiri oleh Hank Paulson dalam buku semi biografinya, "On the Brink of Collapse", terbit tahun 2009.

Titik Balik China

Ya, di sanalah titik "the turning point" China. Jadi pada akhirnya semua akan kembali kepada posisi semula. China tentu akan kembali kepada sosialisme. Tapi itu bukanlah hal baru tentunya.

Deng Xiaoping adalah "communist believer." Tak ada yang meragukannya. Deng telah bersama Mao selama bertahun-tahun.

Pembasmian gerakan mahasiswa di tahun 1989 (Tianamen Square Massacre) adalah perintah langsung dari Deng, setelah Zao Ziyang menolak memberlakukan "martial law" di tahun 1989. Apa yang dilakukan Deng dalam konteks kebijakan ekonomi China adalah pragmatisme politik. Selama kapitalisme bisa membuat orang China kaya, "why not". Tapi untuk menjadi "democratic state", saya yakin jawaban Deng adalah "no".

Xi Jinping adalah perpaduan Mao, Deng, dan Emperor of Ming Dynasty. Tak ada demokrasi di sana. Nah, jika track-nya kembali ke gaya lama, maka kembali kepada kelemahan masing-masing di satu sisi dan meruncingnya perbedaan kepentingan ekonomi politik antara dua kubu di sisi lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com