Menurut Kotkin, jelang berakhirnya Perang Dunia II, Stalin cenderung patuh pada permintaan Amerika Serikat (AS), karena banyaknya bantuan yang diberikan AS kepada Soviet untuk melawan Hitler di satu sisi dan politik akomodatif FDR atas Stalin selama Perang Dunia II di sisi lain.
Ketika FDR meminta Stalin untuk tidak menyerang Jepang di tanah China (maksud FDR agar Stalin tidak menginvasi China), Stalin mematuhinya. Saat FDR kemudian meminta Stalin ikut membantu AS mengalahkan Jepang setelah teater Eropa selesai, Stalin pun mematuhinya.
Pasukan Merah sudah sampai di Korea dari sisi darat dan sudah memasuki Pulau Sakhalin jelang Hokaido dari sisi laut. Lalu Truman (setelah FDR meninggal) meminta Stalin berhenti di garis 38 peralel yang sekarang jadi batas Korut dan Korsel, Stalin lagi-lagi mematuhinya. Tentara Merah benar-benar berhenti di sana.
Lalu Truman meminta Stalin tidak menginvasi Jepang via laut. Stalin pun patuh, pasukan Merah berhenti di Pulau Sakhalin.
Kesimpulan Kotkin, jika saja Stalin diminta FDR atau Truman untuk masuk ke China menghabisi Partai Komunis China demi menyelamatkan Chiang Khai Sek, maka Stalin akan melakukannya. Kotkin tampaknya sangat yakin soal itu. Bahkan menurut Kotkin, Stalin adalah sosok yang paling tepat untuk menghabisi komunis China, "karena Stalin adalah orang yang paling mengetahui bagaimana cara membunuh komunis," kata Kotkin.
Semua peserta diskusi tertawa, termasuk peserta yang diundang untuk menonton live via zoom seperti saya. Tetapi pandangan tersebut muncul puluhan tahun kemudian, setelah AS menyadari betapa berbahayanya China hari ini jika dikaitkan dengan eksistensi supremasi AS di tingkat global.
Apalagi, Kotkin "misses the point" terkait FDR. FDR tentu tidak akan segegabah itu menyikapi sayap komunis. Lihat saja, setelah Revolusi Oktober 1917 di Rusia, AS memutus hubungan diplomatik dengan Soviet. Tetapi sesaat setelah FDR berkuasa tahun 1933, FDR membuka kembali hubungan diplomatik dengan Soviet.
Jadi sangat sulit dibayangkan FDR akan mengambil sikap seperti yang dikatakan Kotkin, yakni menghabisi komunis China dengan tangan Stalin. Itu bukanlah cara FDR.
AS yang Membesarkan China?
Pandangan tersebut tak berbeda dengan penganut realisme politik internasional sekelas John Maersheimer. Dalam tulisannya di majalah Foreign Affair beberapa bulan lalu, John menyalahkan politik "engaggement" AS terhadap China.
AS-lah yang membesarkan China, kata John, via politik engaggement. AS menutup mata atas berbagai pelanggaran HAM di China, termasuk terbunuhnya ribuan mahasiswa di peristiwa Tianamen Square.
Sanksi hanya sebentar diterapkan. Lalu atas lobi Bush Senior, yang pernah menjabat sebagai kepala kantor perwakilan AS di Shanghai, sanksi pelan-pelan diangkat kembali.
AS mendorong Wall Street menyiramkan investasi secara masif di China, yang membuat negara lain ikut berinvestasi di sana. AS mendorong dedengkot Wall Street, termasuk mantan Secretary of State Hank Paulson yang mantan CEO Golmand Sach, untuk melejitkan perusahaan-perusahaan China ke tingkat global, mendorong perusahaan-perusahaan besar China go public di bursa global.
Namun nyatanya China tak pernah bercita-cita menjadi negara demokratis seperti yang diharapkan AS, kata John.
Namun sama seperti Kotkin, John juga "misses the point." AS diuntungkan oleh China. AS selama ini berhasil meredam inflasi karena barang impor dari China.
Karena itu, saat perang dagang memanas, inflasi mulai datang ke negeri Paman Sam. Setengah dari defisit dagang AS dan China adalah intrafirm trade, yakni perusahaan AS yang berinvestasi dan berproduksi di China mengirim produksinya kembali ke AS.
Artinya, perusahaan-perusahaan AS meraup keuntungan besar setelah berinvestasi di China.
Di sinilah Trump juga "misses the point" soal defisit dagang AS dan China. Risikonya, AS kehilangan lebih dari 3 juta lapangan pekerjaan karena investasi pindah ke China. Nah terkait soal ini, Trump got the point.
Indonesia tampaknya juga demikian. Indonesia agak sedikit meleset memaknai defisit dagang dengan China. Defisit Indonesia jauh lebih besar dari yang tertulis di data, karena sebagian ekspor Indonesia adalah ekspor yang dilakukan perusahaan tambang milik China di Sulawesi dan Kalimantan atau perusahaan perkebunan sawit asing di Sumatera dan Kalimantan, alias bukan sepenuhnya ekspor perusahaan Indonesia.
Namun karena perhitungannya dipukul rata, maka semua yang keluar dari Indonesia akan dianggap ekspor Indonesia (model kalkulasi PDB yang baru). Padahal omset dan profitnya berada di tangan perusahaan asing. Risikonya, jika terjadi ketidakpastian ekonomi dalam negeri, perusahaan-perusahaan ini berisiko menahan dolarnya di luar negeri.
Lihat saja di Sulawesi sana, perusahaan yang menambang dan mengolah nikel mayoritas adalah perusahaan China. Atau perusahaan besar yang mengekspor CPO, sekelas Wilmar misalnya, bukan perusahaan Indonesia, meskipun komisaris-komisarisnya di perusahaan joint venture dalam negeri adalah mantan-mantan petinggi di Indonesia.
Tetapi Indonesia setidaknya masih dapat lapangan pekerjaan. Jadi sangat miris jika pekerjaan di investasi asing juga dikerjakan oleh pekerja asing. Lantas Indonesia dapat apa?
John "misses the point" soal krisis keuangan tahun 2008. China sudah nyaris mengikuti pattern negara kapitalis sampai tahun 2008. Di era Hu Jintao, kebebasan pers dan berekpresi mulai terlihat. Tetapi krisis 2008 merubah segalanya.
Setelah krisis finansial global, China mendapati sistem kapitalisme ternyata cacat dari dalam. Saat pertemuan SED (Society for Economics Dynamic) di Annapolis, Merryland, AS tahun 2008, Wang Qishan, salah satu tangan kanan Xi yang kemudian dipakai Xi untuk eksekusi kampanye antikorupsi, menyampaikan kekecewaanya kepada Hank Paulson, yang kala itu masih menjabat sebagai secretary of state era Bush Yunior.
"You were my teacher, but now here I am in my teacher’s domain, and look at your system, Hank. We aren’t sure we should be learning from you anymore", ucap Wang.
Dialog tersebut ditulis sendiri oleh Hank Paulson dalam buku semi biografinya, "On the Brink of Collapse", terbit tahun 2009.
Titik Balik China
Ya, di sanalah titik "the turning point" China. Jadi pada akhirnya semua akan kembali kepada posisi semula. China tentu akan kembali kepada sosialisme. Tapi itu bukanlah hal baru tentunya.
Deng Xiaoping adalah "communist believer." Tak ada yang meragukannya. Deng telah bersama Mao selama bertahun-tahun.
Pembasmian gerakan mahasiswa di tahun 1989 (Tianamen Square Massacre) adalah perintah langsung dari Deng, setelah Zao Ziyang menolak memberlakukan "martial law" di tahun 1989. Apa yang dilakukan Deng dalam konteks kebijakan ekonomi China adalah pragmatisme politik. Selama kapitalisme bisa membuat orang China kaya, "why not". Tapi untuk menjadi "democratic state", saya yakin jawaban Deng adalah "no".
Xi Jinping adalah perpaduan Mao, Deng, dan Emperor of Ming Dynasty. Tak ada demokrasi di sana. Nah, jika track-nya kembali ke gaya lama, maka kembali kepada kelemahan masing-masing di satu sisi dan meruncingnya perbedaan kepentingan ekonomi politik antara dua kubu di sisi lain.
Pepatah lama akan berlaku kembali. "Masalah pada sosialisme adalah sosialisme itu sendiri. Masalah pada kapitaslime adalah para kapitalis itu sendiri".
Jadi sangat bisa dipahami mengapa salah satu pemikir "New Dealer" yang juga dianggap sebagai salah satu anggota "brain trust" FDR, Raymond Moley, prefesor politik Columbia University kala itu mengatakan bahwa FDR menyelamatkan AS dari para kapitalis, bukan dari sosialis (konteksnya Great Depression).
Lantas, kalau China kembali kepada sosialisme-komunisme-marxisme, apakah China akan berperang dengan AS?
Menurut profesor dari Harvard University, Graham Allison, China dan Amerika ditakdirkan untuk berperang. Judul bukunya beberapa tahun lalu berbunyi "Destined War" menjelaskan pandangan Graham. Asumsi dasarnya adalah Thucydides Trap. "Raising power" biasanya akan berperang dengan super power.
Namun menurut mantan Perdana Menteri Australia, Kevid Rud, masih banyak jalan agar keduanya tidak berperang. Judul bukunya yang terbit beberapa bulan lalu memberi gambaran mengapa kesimpulannya demikian, yakni "Avoidable War (2022)." "Interdepence economy" menjadi alasan utamanya.
Namun apapun teorinya, tulis editorial majalah The Economist beberapa waktu lalu, perang atau tidak, semua akan tergantung pada satu orang, yakni Xi Jinping. Isi kepala Xi adalah penentu apakah China akan berperang atau tidak dengan AS dan Barat.
Kalau Xi, misalnya, bersikeras dan memaksa untuk keluar dari pakem status quo, maka pada ujungnya akan ada peperangan.
https://www.kompas.com/global/read/2023/02/16/104159870/hitam-putih-dunia-di-tangan-xi-jinping