AFRIN, KOMPAS.com - "Sorot mata anak ini benar-benar menyentuh saya," kata dokter Ahmad al-Masri. "Saya tidak tahu kenapa tapi begitu dia menatap saya, saya mulai menangis."
Sudah lebih dari 30 jam sejak gempa bumi dahsyat mengguncang Suriah pada hari Senin (6/2/2023) dan Dr Masri kelelahan.
Dia dan hanya satu dokter lainnya merawat puluhan orang yang terluka di rumah sakit mereka di Afrin, sebuah kota di Suriah barat laut yang dikuasai oposisi.
Baca juga: Korban Tewas Gempa Turkiye-Suriah Capai 34.179 Jiwa, Lindu Susulan M 4,6 Terjadi
Salah satunya, Muhammad, bocah berusia tujuh tahun yang diselamatkan dari bawah puing-puing rumahnya.
Tim penyelamat menemukannya terbaring di samping jenazah ayahnya, yang tertindih reruntuhan bersama dengan ibu dan saudara-saudaranya.
"Tapi saya juga merasa dia punya banyak kekuatan, misalnya dia menahan rasa sakit dari luka-lukanya. Apa yang membuat seorang anak berusia tujuh tahun begitu kuat dan tabah?"
Dr Masri adalah seorang ahli bedah di Rumah Sakit Al-Shifa, yang disokong oleh Syrian American Medical Society (SAMS), sebuah lembaga amal. Dia mengatakan pihaknya menerima lebih dari 200 pasien segera setelah bencana.
Dr Masri memeriksanya dan memastikan dia baik-baik saja. Tetapi sang dokter kemudian menyadari bahwa orangtua bocah itu tidak bersamanya.
"Tiba-tiba, saya melihat ayahnya berlari ke arahnya dan memeluknya, terisak dan menangis," katanya.
"Sang ayah mengatakan kepada saya bahwa anak ini adalah satu-satunya yang selamat di keluarganya. Anggota keluarga lainnya terbaring di koridor, tak bernyawa."
Dr Masri mengatakan, para staf di rumah sakit tercengang dengan skala bencana, dengan "gelombang" pasien yang datang sekaligus.
"Saya tidak pernah membayangkan bahwa gempa bumi dapat menciptakan kerusakan sebanyak ini, dapat menyebabkan jumlah pasien sebanyak ini."
Baca juga: Banyak Bangunan Runtuh akibat Gempa, Turkiye Tangkap 113 Orang
Meski begitu, dia sudah terbiasa menangani insiden besar.