Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Begini Rasanya Hidup sebagai Perempuan di Iran Saat Ini

Kompas.com - 17/10/2022, 17:00 WIB
Irawan Sapto Adhi

Editor

TEHERAN, KOMAPS.com – Donya menangis terisak di dalam mobilnya di jalanan sibuk ibu kota Iran, Teheran yang dipadati mobil dan riuh suara klakson.

Ia takut kalau dirinya suatu hari ini akan dibunuh.

Donya adalah salah satu dari puluhan warga perempuan Iran yang memblokir jalanan dengan mobil di tengah berlangsungnya unjuk rasa melawan pemerintah.

Baca juga: Minggu Ke-5 Demo Kematian Mahsa Amini, Kebakaran di Penjara Iran yang Terkenal Kejam

Kelompok tersebut mengorbankan keselamatan hidup mereka demi menutup akses aparat keamanan agar tak bisa menghampiri para pengunjuk rasa di kawasan dekat sebuah universitas.

"Mereka membunuh mahasiswa kami," kata Donya sambil menangis dalam rekaman suaranya yang dikirimkan kepada ABC.

"Saya telah mengemudi ke sana dan jalan raya dipenuhi mobil, semuanya menekan klakson, berusaha menghentikan mobil polisi. Saya tidak tahu... kami hanya ingin menolong tapi mereka terus membunuh," ucap dia.

Membicarakan kejadian ini kepada media asing sangatlah berbahaya bagi Donya, yang minta namanya disamarkan.

Warga Iran yang pernah bicara ke media sebelumnya ada yang ditahan, dihukum, atau dibunuh oleh aparat militer pemerintah.

Baca juga: Video Nika Shakarami Ikut Demo Kematian Mahsa Amini Beredar, Dinyatakan Tewas Setelah Aksi

Selama beberapa bulan terakhir, ribuan warga Iran, yang kebanyakan perempuan, sudah melakukan unjuk rasa dengan meneriakkan slogan anti-pemerintah dalam pemberontakan yang disebut terparah yang pernah terjadi di negara itu.

Aksi ini dimulai pada 16 September lalu, setelah kematian Mahsa Amini (22).

Mahsa Amini meninggal dunia usai ditangkap polisi karena tidak memenuhi standar berhijab.

Para perempuan sudah berunjuk rasa dengan melepaskan jilbab mereka dan merekam diri sendiri memotong rambutnya.

Unjuk rasa yang terus terjadi ini mendorong pemerintah untuk memperkuat aparat keamanannya.

Tapi perempuan seperti Donya mengatakan, tidak akan berhenti melakukan unjuk rasa hingga negaranya sudah berubah atau revolusi terjadi.

Darah sebagai harga sebuah kebebasan

Mahsa Amini meninggal di rumah sakit pada hari Jumat setelah tiga hari dalam keadaan koma.REUTERS/IRANWIRE via ABC INDONESIA Mahsa Amini meninggal di rumah sakit pada hari Jumat setelah tiga hari dalam keadaan koma.

"Revolusi feminisme" yang disebutkan Donya memberinya rasa percayaan diri untuk mengunjungi kafe tanpa harus mengenakan jilbab.

Tetapi, ia pun sadar jika dirinya dihadapkan dengan risiko kematian setiap kali keluar rumah.

"Saya takut dengan nasib saya dan setiap kali keluar rumah tidak pernah tahu apakah akan kembali dengan selamat atau tidak," ucap Donya.

Baca juga: Sikap Pemerintah Indonesia di Tengah Maraknya Unjuk Rasa di Iran Pasca Tewasnya Mahsa Amini...

"Harga kebebasan adalah darah kita sendiri," katanya.

Ada Gahst-e-Ershad, istilah untuk polisi moralitas di Iran yang bertugas untuk mengawasi aturan berpakaian dengan ketat.

Para perempuan di Iran di atas usia pubertas harus mengenakan penutup kepala dan pakaian longgar di depan umum.

Setiap kali keluar rumah, Donya harus mengendap-ngendap sehingga tidak ditangkap mereka.

"Rasanya seperti berada di zona perang. Kita tidak tahu kapan unjuk rasa akan terjadi dan jika pun kita ikut-ikutan, tetap harus siap dengan apapun yang akan terjadi," kisah dia.

"Saya membawa baju tambahan di dalam tas karena mereka (penjaga) menggunakan bola cat saat unjuk rasa, sehingga mereka bisa menandai dan menangkap kita," ungkap Donya.

Ia juga selalu berhati-hati dan tidak membawa ponselnya saat meninggalkan rumah.

"Kalau mereka menangkap kami, dan melihat ponsel kami, mereka akan menggeledah isinya untuk melihat apakah kami pernah mengunggah hal buruk tentang mereka. Mereka bisa menembak kami kalau memakai ponsel saat unjuk rasa," jelas dia.

Baca juga: Minggu Keempat Protes Kematian Mahsa Amini di Iran, Demonstran: Polisi Adalah Pembunuh Rakyat

Pernah ditangkap

Pada pukul 21.00 setiap harinya, warga di sekitar rumah Donya akan mematikan lampu rumah mereka dan meneriakan "matilah ditaktor" atau "perempuan, hidup, kebebasan".

"Mereka berdiri di belakang jendela yang terbuka sehingga kami bisa mendengar mereka dari luar rumah," kata Donya.

Namun, mereka mematikan lampu sehingga tidak ada yang tahu suara itu datang dari rumah yang mana.

Teriakan itu menggelegar di sepanjang jalan dan menjadi simbol solidaritas feminisme.

Seperti Mahsa Amini, banyak perempuan lainnya di Iran, termasuk Donya pernah ditangkap polisi moralitas karena tidak mengenakan pakaian "layak".

ABC tidak mendeskripsikan detail dari kasus tersebut untuk melindungi identitas Donya.

"Mereka melemparkan saya dalam van, ini sangat menakutkan, kita bisa saja terbunuh dengan mudahnya. Waktu saya ditangkap, semua orang berteriak dan menangis. Kadang saya masih mimpi soal itu," cerita Donya.

Donya hanya bisa meminta maaf saat ditangkap, namun tetap menerima pertanyaan 'apa motif Anda?'.

Baca juga: UPDATE Demo Kematian Mahsa Amini: 5 Fakta Terbaru dari Kedubes Iran di Indonesia

"Pilihan jawabannya banyak, salah satunya 'Saya dibodohi agen berita di luar negara Iran'," kata dia.

Komite yang melindungi wartawan di Iran mengatakan setidaknya 35 wartawan sudah ditangkap karena meliput unjuk rasa tersebut.

Iran 'hidup dengan harapan dan mimpi'

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei melarang apa yang disebutnya sebagai "pemberontakan" dan menuding Amerika Serikat (AS) dan Israel sebagai perencana di baliknya.

Ia mengatakan mereka yang menggelar unjuk rasa untuk "menyabotir" negara pantas mendapatkan "hukuman berat".

"Ini menciptakan perasaan jika kita tidak sendiri dan [rezim] ini harus membayar atas apa yang sudah mereka lakukan pada negara ini," ucap dia.

Donya sudah beberapa kali menangis ketika diwawancara ABC, tapi ia berharap akan ada revolusi di negaranya.

"Warga sudah tidak mau menaati lagi, orang-orang bukanlah 'warga negara baik' kalau sudah di dalam kediktatoran. Kami hidup dengan harapan dan mimpi. Kalau kami menang, kemenangan itu menjadi milik semua perempuan," ucap dia.

Tulisan ini diproduksi dan dirangkum oleh Natasya Salim dari laporan ABC dalam bahasa Inggris

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Israel Batal Sita Kamera Associated Press Setelah Panen Kecaman

Israel Batal Sita Kamera Associated Press Setelah Panen Kecaman

Global
Hari Ini, Irlandia dan Norwegia Akan Mengakui Negara Palestina Secara Resmi

Hari Ini, Irlandia dan Norwegia Akan Mengakui Negara Palestina Secara Resmi

Global
Pecah Rekor Lagi, Pendaki Nepal Kami Rita Sherpa Capai Puncak Everest 30 Kali

Pecah Rekor Lagi, Pendaki Nepal Kami Rita Sherpa Capai Puncak Everest 30 Kali

Global
Presiden Iran Meninggal, Puluhan Ribu Orang Hadiri Pemakaman Ebrahim Raisi

Presiden Iran Meninggal, Puluhan Ribu Orang Hadiri Pemakaman Ebrahim Raisi

Global
Rangkuman Hari Ke-818 Serangan Rusia ke Ukraina: 3.000 Napi Ukraina Ingin Gabung Militer | 14.000 Orang Mengungsi dari Kharkiv 

Rangkuman Hari Ke-818 Serangan Rusia ke Ukraina: 3.000 Napi Ukraina Ingin Gabung Militer | 14.000 Orang Mengungsi dari Kharkiv 

Global
Belum Cukup Umur, Remaja 17 Tahun di India Pilih Partai PM Modi 8 Kali di Pemilu

Belum Cukup Umur, Remaja 17 Tahun di India Pilih Partai PM Modi 8 Kali di Pemilu

Global
Menlu AS Tuding ICC Hambat Gencatan Senjata Perang Israel-Hamas

Menlu AS Tuding ICC Hambat Gencatan Senjata Perang Israel-Hamas

Global
Menteri Keamanan To Lam Resmi Terpilih Jadi Presiden Vietnam

Menteri Keamanan To Lam Resmi Terpilih Jadi Presiden Vietnam

Global
Anggota Kabinet Perang Israel Ron Dermer Sebut Tak Ada Kelaparan di Gaza, Kok Bisa? 

Anggota Kabinet Perang Israel Ron Dermer Sebut Tak Ada Kelaparan di Gaza, Kok Bisa? 

Global
Amelia Earhart, Perempuan Pertama yang Melintasi Atlantik

Amelia Earhart, Perempuan Pertama yang Melintasi Atlantik

Internasional
6 Fakta soal Helikopter Presiden Iran, Termasuk Buatan AS dan Sudah Usang

6 Fakta soal Helikopter Presiden Iran, Termasuk Buatan AS dan Sudah Usang

Global
Rusia Umumkan Mulai Latihan Peluncuran Senjata Nuklir Taktis

Rusia Umumkan Mulai Latihan Peluncuran Senjata Nuklir Taktis

Global
Penumpang yang Tewas dalam Singapore Airlines Berencana Berlibur ke Indonesia

Penumpang yang Tewas dalam Singapore Airlines Berencana Berlibur ke Indonesia

Global
[POPULER GLOBAL] Singapore Airlines Turbulensi Parah | Hasil Penyelidikan Awal Kecelakaan Helikopter Presiden Iran

[POPULER GLOBAL] Singapore Airlines Turbulensi Parah | Hasil Penyelidikan Awal Kecelakaan Helikopter Presiden Iran

Global
Presiden Iran Meninggal, Turkiye Adakan Hari Berkabung

Presiden Iran Meninggal, Turkiye Adakan Hari Berkabung

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com