Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak Terbaru Perubahan Iklim: Tingkatkan Unggahan Kebencian di Media Sosial

Kompas.com - 23/09/2022, 14:01 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

BERLIN, KOMPAS.com – Menurut studi terbaru, perubahan iklim dapat meningkatkan frekuensi unggahan kebencian di Twitter.

Para peneliti menemukan bahwa di AS, peningkatan ujaran kebencian di media sosial bertepatan dengan hari-hari ketika cuaca terlalu panas atau terlalu dingin.

Studi tersebut dirilis dalam jurnal The Lancet Planetary Health. Riset ini dilakukan oleh para peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) di Jerman.

Baca juga: China Kehilangan Lumba-lumba Sungai Yangtze Akibat Perubahan Iklim, Spesies Lainnya Terancam

Para peneliti menyaring lebih dari 4 miliar unggahan di Twitter dari pengguna di AS antara 2014 hingga 2020, sebagaimana dilansir Malay Mail, Jumat (23/9/2022).

Setelah mendapat data, mereka menganalisisnya menggunakan kecerdasan artifisial dan menggabungkannya dengan data cuaca.

Dari twit yang dianalisis, sekitar 75 juta berisi ujaran kebencian berupa ujaran diskriminatif yang ditujukan kepada kelompok atau individu tertentu, paling sering bersifat rasis atau misoginis.

Para peneliti menemukan bahwa adanya peningkatan nyata dalam frekuensi unggahan ujaran kebencian di media sosial, terutama ketika suhu di luar ruangan di atas 30 derajat Celsius.

Baca juga: Banjir Maut di Pakistan Buktikan Kian Parahnya Perubahan Iklim di Negara Miskin

Hal itu terjadi termasuk di daerah berpenghasilan tinggi, di mana orang-orangnya memiliki kemampuan untuk mengurangi efek dari suhu tersebut di luar ruangan.

Mengingat temuan ini, para peneliti menempatkan penekanan khusus pada hubungan timbal balik antara perubahan iklim, perilaku manusia dan kesehatan mental.

Annika Stechemesser, ilmuwan dari PIK sekaligus penulis pertama dari penelitian tersebut, menuturkan bahwa cuaca yang “nyaman” adalah antara 12 derajat Celsius hingga 21 derajat Celsius.

Jika huhu di bawah ambang batas itu, unggahan kebencian di media sosial meningkat hingga 12 persen. Sedangkan bila suhu di atas ambang batas itu, unggahan kebencian melonjak hingga 22 persen.

Baca juga: Banjir Pakistan: Bukti Nyata Perubahan Iklim Sebabkan Bencana Dahsyat

Stechemesser menegaskan, hal tersebut terjadi di seluruh penjuru AS.

“Ini menunjukkan batas adaptasi terhadap suhu ekstrem, dan menyoroti dampak sosial dari perubahan iklim yang belum diremehkan: konflik di bidang digital dengan implikasi bagi kohesi masyarakat dan kesehatan mental,” tulis para peneliti dalam rilisnya.

Pemimpin kelompok kerja di Institut Potsdam yang memimpin penelitian, Leonie Wenz, menyampaikan bahwa pertanyaan mengenai hubungan antara kondisi iklim dengan perilaku manusia selalu menggantung di kepala para peneliti.

“Selama berabad-abad, para peneliti telah bergulat dengan pertanyaan tentang bagaimana kondisi iklim mempengaruhi perilaku manusia dan stabilitas masyarakat,” kata Wenz.

“Sekarang, dengan perubahan iklim yang sedang berlangsung, ini lebih penting dari sebelumnya. Melindungi iklim kita dari pemanasan global yang berlebihan juga penting untuk kesehatan mental kita,” sambung Wenz.

Baca juga: Perubahan Iklim: 2022 Disebut Tahun Panas dan Kekeringan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

Global
PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

Global
Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Global
13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

Global
Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Global
Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Global
Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Internasional
Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Global
Siapa 'Si Lalat' Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Siapa "Si Lalat" Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Internasional
Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Global
2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

Global
AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

Global
Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Global
Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Global
China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com