Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower kala itu, berhasil memaksa Pasukan Inggris, Perancis, dan Israel, keluar dari kawasan Terusan Suez, seperti halnya Presiden Amerika Serikat Harry Truman berhasil memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia di tahun 1949.
Pemerintahan Presiden ke - 34 Amerika Serikat Eisenhower berhasil memobilisasi penolakan atas invasi Inggris dan Perancis terhadap Terusan Suez di Forum PBB dan mengancam memblokir dolar dari IMF untuk Inggris yang kala itu memang sedang membutuhkan dana segar.
Persis seperti pemerintahan Harry Truman di masa lalu mengancam membatalkan dana Marshall Plan kepada Belanda jika negara Ratu Wihelmina tersebut tidak menghentikan agresi militer atas negeri ini dan tidak mengakui kedaulatan Indonesia.
Pascaperistiwa itu, peran Inggris menyusut total. Dalam kajian politik internasional pun kajian geopolitik, pada momen Terusan Suez itulah status negara adi daya Inggris Raya beralih atau diambil oleh Amerika Serikat, setelah sebelumnya juga pelan-pelan dikikis sejak perang dunia pertama dan kedua.
Sebelum momen Terusan Suez, Amerika Serikat juga pernah membuat Inggris tidak berkutik, persis menjelang Perang Dunia kedua usai.
Saat itu, Franklin D. Roosevelt (FDR) kembali dari pertemuan Malta, ia menyempatkan diri singgah di Arab dan bertemu dengan pendiri Kerajaan Arab Saudi, yaitu Raja Abdulaziz al Saud.
Dengan data hasil penelitian geologis yang sudah dikantonginya, FDR mengamankan kekuasaan mutlak Amerika Serikat atas sumber daya alam minyak di Arab Saudi, tanpa sedikitpun bantahan dari Inggris dan Perancis yang sebelumnya berjaya di kawasan Timur Tengah.
Ketegangan terselubung antara Inggris dan Amerika Serikat memang sudah bukan rahasia lagi.
Mulai dari Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, kemudian FDR, Truman, dan Eisenhower, memang antikolonial.
Namun karena konstelasi global yang tidak memungkinkan, kebijakan-kebijakan mereka cenderung kurang agresif menyerang negara-negara kolonial lama.
Amerika Serikat mulai melepas taring kolonialnya saat pertama kali menawarkan opsi merdeka pada Philipina tahun 1946. Namun negara-negara besar lainnya justru tak terinspirasi.
Ketika perang dingin pecah setelah kemenangan sekutu tahun 1945, Amerika Serikat mulai memperlihatkan ambiguitas antara pro kolonial atau pro dekolonialisasi.
Amerika Serikat sempat bergeming saat agresi militer Belanda di Indonesia, karena takut Indonesia jatuh ke tangan komunis.
Setelah Amerika Serikat menyaksikan sikap tegas Soekarno dan Hatta atas pemberontakan Muso di Madiun pada 1948, barulah kemudian Amerika Serikat percaya bahwa Indonesia bisa berdiri tegak tanpa dominasi sayap kiri.
Namun demikian, karena perang dingin pula Amerika Serikat kembali harus mendukung negara kolonial Perancis atas Vietnam, yang kemudian berbarengan dengan kebijakan ganyang Malaysia (konfrontasi) Soekarno yang menandai peralihan kebijakan bapak pendiri bangsa Indonesia itu ke sayap kiri frontal, dari Moskow ke Beijing.