LONDON, KOMPAS.com - Masa pemerintahan Ratu Elizabeth II ditandai dengan sikapnya yang penuh tanggung jawab dan tekadnya untuk mendedikasikan hidupnya untuk rakyatnya.
Bagi banyak orang, ia menjadi titik yang konstan dalam dunia yang bergerak cepat dan menurunnya pengaruh Inggris maupun masyarakat yang berubah yang membuat peran monarki dipertanyakan.
Kesuksesannya dalam mengawal monarki untuk melewati masa-masa penuh guncangan tersebut menjadi semakin luar biasa mengingat fakta bahwa pada saat ia lahir, tidak ada seorang pun yang memprediksi bahwa tahta kerajaan menjadi takdirnya.
Baca juga: Berapa Gaji Ratu Elizabeth II, dari Mana Asalnya dan Untuk Apa Uangnya?
Elizabeth Alexandra Mary Windsor lahir pada 21 April 1926, di sebuah rumah di dekat alun-alun Berkeley di pusat kota London.
Ia adalah anak perempuan tertua dari Albert atau Duke of York--yang merupakan putra kedua Raja George V--dan istrinya yang dikenal sebagai Lady Elizabeth Bowes-Lyon.
Elizabeth sangat dekat baik dengan ayah maupun kakeknya, Raja George V.
Pada usia enam tahun, Elizabeth mengatakan pada pelatih berkudanya bahwa ia ingin menjadi "perempuan desa yang memiliki banyak kuda dan anjing".
Eilzabeth disebut memiliki rasa tanggung jawab yang besar sejak usia dini. Perdana Menteri Winston Churchill pernah dikutip mengatakan bahwa ia memiliki "karisma pemimpin yang luar biasa sejak kanak-kanak".
Meski tidak mengenyam pendidikan formal, Elizabeth membuktikan dirinya mahir berbicara dalam berbagai bahasa dan mempelajari sejarah konstitusi dengan seksama.
Pramuka untuk perempuan atau Girl Guides pertama yang diberi nama 1st Buckingham Palace, sengaja didirikan agar bisa bersosialisasi dengan gadis sebayanya.
Namun, pilihan istrinya yang merupakan janda cerai dua kali asal Amerika Serikat, Wallis Simpson, dinilai tak bisa diterima atas alasan politik maupun agama.
Maka dia akhirnya mengundurkan diri.
Baca juga: Ratu Elizabeth II Wafat, Pangeran Charles Naik Takhta Jadi Raja Charles III
Duke of York kemudian menjadi Raja George VI, meski dengan berat hati.
Penobatannya ayahnya sebagai raja memberikan Elizabeth kecil gambaran mengenai masa depannya yang membuatnya menulis bahwa ia menilai pengabdian pada negara "sangat, sangat luar biasa".
Dilatarbelakangi meningkatnya ketegangan di Eropa, sang Raja baru -dengan istrinya yang kini dikenal sebagai Ratu Elizabeth- berusaha untuk mengembalikan kepercayaan publik pada monarki.
Contoh yang mereka berikan menjadi bahan pelajaran bagi putri tertua.
Itu bukan pertama kalinya mereka bertemu tapi untuk pertama kalinya keduanya merasakan ketertarikan satu sama lain.
Ia menyimpan fotonya di kamar dan keduanya saling berkirim surat.
Pada 1945, Elizabeth bergabung dengan kesatuan dinas wajib militer dengan belajar mengemudi serta merawat kendaraan.
Saat Perang Dunia II berakhir, ia menyelinap keluar dari Istana Buckingham dengan mengenakan seragam dan merayakan kemenangan sekutu bersama rakyat biasa di dekat kantor perdana menteri tanpa dikenali.
"Kami bertanya pada orangtua saya apakah kami bisa pergi ke luar dan melihat kemeriahan yang terjadi. Saya ingat kami sangat takut dikenali. Saya ingat berbaris dengan orang-orang yang tidak saya kenal bergandengan dan berjalan di Whitehall, kami semua tersapu kebahagiaan dan kelegaan," kata Elizabeth.
Baca juga: Ratu Elizabeth II Meninggal, Dollar Australia Akan Ganti Gambar Raja Charles III
Setelah perang, keinginannya untuk menikahi Pangeran Philip menghadapi sejumlah tantangan.
Raja berpikir ia masih terlalu muda dan Philip harus mengatasi prasangka karena beberapa kerabatnya yang berkebangsaan Jerman mendukung rezim Nazi walapun rekor pribadinya pada masa perang sangat baik.
Tetapi Elizabeth tetap pada tekadnya dan setelah kunjungan Keluarga Kerajaan ke Afrika Selatan pada 1947, Raja akhirnya menyetujui pernikahan mereka.
Pernikahan yang berlangsung pada November 1947 itu, menurut Winston Churchill, adalah sebuah "kilatan warna" di Inggris pascaperang yang suram.
Anak pertama mereka, Charles, lahir pada 1948 disusul oleh adiknya, Anne, yang lahir tahun 1950.
Tetapi Raja yang mengalami tekanan berat selama perang terbaring sakit karena kanker paru-paru akibat kebiasaan merokoknya sejak muda.