Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasan Sadeli
Pemerhati Sejarah Maritim

Pemerhati Sejarah Maritim | Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.

 

Deklarasi Perang Dunia II

Kompas.com - 03/09/2022, 06:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARI ini delapan puluh tiga tahun lalu, tepatnya 3 September 1939, Inggris dan Perancis mendeklarasikan perang terhadap Nazi Jerman.

Deklarasi itu ditujukan sebagai respons atas tembakan “meriam” pertama Jerman yang menandai dimulainya Perang Dunia II.

Adolf Hitler sebagai kanselir Jerman saat itu memutuskan untuk menduduki Danzig (sekarang Gdansk) yang dianggapnya sebagai suatu keganjilan terbesar Perjanjian Versailes.

Sebelumnya Jerman telah menduduki Cekoslowakia pada 1938 tanpa reaksi berarti dari Inggris dan Perancis.

Hal ini membuat Hitler yakin bahwa respons serupa juga akan berlaku ketika Jerman menduduki Danzig. Menurutnya, tidak ada negara yang ingin terjebak perang dunia untuk Danzig.

Namun kenyataan berkata lain. Hanya dua hari setelah serangan tersebut, Inggris dan Perancis mengumumkan deklarasi perang. Kedua negara ini ingin memperlihatkan komitmen yang diucapkan sebelumnya, yakni memastikan integritas dan keamanan perbatasan Polandia.

Setelah Polandia menyerah pada penghujung September 1939, Jerman kemudian meluaskan serbuan militer ke banyak negara Eropa lainnya.

Terhitung sejak April hingga Juni tahun 1940, tank-tank Jerman telah menggilas banyak negara Eropa seperti Denmark, Norwegia, Luksemburg, Belgia, Belanda dan Perancis.

Inggris tak luput dari sasaran serangan Nazi Jerman. Pesawat tempur Jerman (Stuka) meraung-raung di langit London. Peristiwa yang dikenal dengan Battle of Britain ini berlangsung sejak Agustus sampai September 1940.

Buku berjudul “Perang Eropa Jilid 2” karya P.K. Ojong menjelaskan bahwa dalam pertempuran ini, Angkatan Udara Inggris Royal Air Force (RAF) menerapkan strategi perang defensif adaptif sebagaimana diajarkan oleh Wellington.

Strategi ini terbukti membuat Inggris bisa bertahan, bahkan mampu memukul mundur Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe) yang paling ditakuti.

Hitler kemudian memutuskan menunda serangan besar lanjutan ke kepulauan Britania. Suatu penundaan yang kelak berujung pembatalan mengingat Jerman ketika itu mulai mengalihkan pandangan ke timur untuk menyerang Uni Sovyet.

Perang besar ini terbukti menjadi salah satu perang paling mematikan dalam sejarah yang berlangsung selama enam tahun, terhitung sejak September 1939 sampai Mei 1945.

Perang Dunia II yang berlangsung di Eropa tidak hanya melibatkan blok sekutu pimpinan Amerika Serikat dan blok poros pimpinan Jerman. Melainkan menyeret banyak negara lain yang tidak terikat dengan aliansi.

Dua Palagan

Pasukan Jepang pada saat Perang Dunia II.Encyclopædia Britannica Pasukan Jepang pada saat Perang Dunia II.
Selain Eropa, palagan yang tidak kalah mematikan juga terjadi di wilayah Asia-Pasifik. Beberapa sejarawan menilai bahwa tembakan meriam pertama yang menandai dimulainya suatu huru-hara besar sebenarnya tidak dimulai di Eropa. Melainkan di kawasan Asia.

Hal ini merujuk pada fakta serangan besar Jepang terhadap China tahun 1937 yang menandai dimulainya kampanye militer Jepang untuk menggenggam kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Selain itu dalam tinjauan skala dan durasi, perang yang terjadi di wilayah Asia-Pasifik juga lebih luas dan lebih lama ketimbang perang di Eropa.

Perang di Eropa terjadi sejak September 1939 dan berakhir pada Mei 1945 atau sekitar enam tahun lamanya. Sementara perang di kawasan Asia Timur dan Pasifik terjadi sejak Juli 1937 dan berakhir pada September 1945.

Bahkan dalam statistik korban perang sebagaimana dirilis oleh National Worl War II Museum terdapat setidaknya 4 negara di Asia dengan korban kematian akibat perang tertinggi seperti China (15-20 juta jiwa), Indonesia (3-4 juta jiwa) Jepang (2-3 juta jiwa) dan India (2 juta jiwa).

Ini berarti terdapat empat negara Asia yang masuk dalam daftar 10 negara dengan korban jiwa terbanyak akibat Perang Dunia II. Itupun belum termasuk korban kematian di negara-negara di Asia Tenggara lainnya yang ditaksir mencapai 1-2 juta jiwa.

Di beberapa negara Eropa seperti Perancis, Inggris dan Belanda, misalnya, jumlah korban tidak sebanyak yang dialami oleh negara di kawasan Asia Tenggara.

Untuk statistik perbandingan yang lebih spesifik, jumlah kematian warga sipil dan militer yang diderita koloni Perancis di Asia Tenggara melampaui angka kematian di negeri induk koloninya.

Padahal negara seperti Perancis dan Inggris adalah negara yang melakukan deklarasi perang dan terlibat langsung dalam peperangan.

Banyak sejarawan menilai bahwa jumlah kematian yang tinggi disebabkan timpangnya kekuatan di Asia ketika itu.

Jepang dapat dikatakan sebagai satu-satunya negara dengan kekuatan militer yang tidak ada bandingannya di Asia.

Sehingga negara-negara seperti China dan banyak negara di Asia Tenggara yang ketika itu di bawah jajahan Perancis Inggris dan Belanda lebih memilih strategi bertahan dari gempuran Jepang.

Ketiadaan aliansi penyeimbang membuat durasi PD II di kawasan ini menjadi lama. Dan mungkin jumlah korban yang diderita oleh negara-negara di kawasan Asia pada kenyataannya bisa saja lebih besar dari yang selama ini tercatat.

Tetapi bagaimanapun PD II baik yang terjadi di kawasan Eropa maupun Asia-Pasifik telah menyisakan kegetiran luar biasa. Berakhirnya perang juga rupanya tidak serta merta mengakhiri suasana ketegangan dan perseteruan antarnegara besar di dunia.

Perubahan geopolitik dunia setelah berakhirnya PD II di lain pihak tidak melahirkan suatu aliansi penjaga perdamaian dunia.

Sebaliknya, yang muncul ialah dua kekuatan besar yang menjadi simbol nyata tentang mentalitas perang yang masih terpatri dengan kuat sehingga menyeret dunia dalam suasana perang dingin selama beberapa dekade lamanya.

Refleksi

Bagi Indonesia, perang selalu merupakan kondisi yang tidak relevan dan bertentangan dengan prinsip serta asas negara.

Keberpihakan terhadap kekuatan-kekuatan global yang tengah bersaing dewasa ini juga bukan pilihan bijak.

Indonesia harus belajar dari sikapnya yang pernah condong membuntuti salah satu pihak seperti yang dilakukan pada masa Orde Baru yang hanya membuat Indonesia jalan di tempat.

Indonesia harus tegak lurus dalam menjalankan netralitasnya dan tampil sebagai negara merdeka dalam pengertian yang sesungguhnya. Yakni merdeka dari keberpihakan, merdeka dari tekanan pihak luar dan merdeka dalam berkolaborasi untuk kepentingan nasional.

Sebab menunjukan keberpihakan di tengah persaingan ekonomi atau ideologi yang melibatkan kekuatan besar hampir selalu diikuti oleh potensi konflik yang juga lebih besar. Dan sejarah sudah cukup jelas memberikan pelajaran tentang semua itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com