Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perdana Menteri Thailand Diberhentikan Sementara dari Jabatannya, Ini Penyebabnya

Kompas.com - 25/08/2022, 13:45 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Al Jazeera

BANGKOK, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi Thailand menangguhkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dari tugas resmi, setelah memutuskan untuk mendengar petisi yang meminta peninjauan kembali batas masa jabatan delapan tahun yang diamanatkan secara hukum.

“Pengadilan mempertimbangkan permohonan dan dokumen terkait dan melihat bahwa fakta-fakta dari petisi menjadi alasan untuk peninjauan kembali seperti yang dituntutkan,” kata pengadilan dalam sebuah pernyataan sebagaimana dilansir Al Jazeera.

“Dengan demikian, suara mayoritas (lima lawan empat) untuk menangguhkan (Prayuth) sebagai perdana menteri efektif 24 Agustus 2022, hingga pengadilan mengeluarkan putusan.”

Baca juga: Setelah Singapura, Rajapaksa Pindah ke Thailand, Cari Suaka Politik?

Petisi yang diajukan pada Senin (22/8/2022) oleh partai oposisi utama berpendapat bahwa waktu yang dihabiskan Prayuth sebagai kepala pemerintahan militer, setelah dia melakukan kudeta saat menjadi panglima militer Thailand pada 2014, harus diperhitungkan.

Dengan demikian mantan panglima militer itu sudah mencapai batas masa jabatan delapan tahun sesuai hukum yang ditetapkan dalam konstitusional Thailand.

Menurut pengadilan, Prayuth memiliki waktu 15 hari untuk menanggapi.

Tidak jelas kapan pengadilan akan memberikan putusan akhir atas petisi tersebut.

Alhasil, meski Prayuth dapat dikembalikan ke posisinya ketika pengadilan membuat keputusannya, penangguhannya yang mengejutkan pada Rabu (24/8/2022) memunculkan kebingungan dalam politik Thailand.

Prawit Wongsuwan, salah satu wakil Prayuth dan mantan panglima militer Thailand lainnya, akan mengambil alih sebagai perdana menteri sementara, sampai kasusnya diputuskan.

Baca juga: Thailand Jadi Lokasi Pelarian Gotabaya Rajapaksa Berikutnya

“Kabinet saat ini akan melanjutkan tugasnya seperti biasa karena Jenderal Prayuth belum dicopot dari jabatannya, hanya diberhentikan sementara,” kata Wissanu Krea-ngam, wakil perdana menteri lainnya sebagaimana dilansir Al Jazeera.

Pita Limjaroenrat, pemimpin oposisi Partai Maju Maju, yang termasuk di antara mereka yang mendukung petisi itu, mengatakan “Negeri Gajah Putih” membutuhkan kepemimpinan baru.

“Ini seperti mendayung perahu di sekitar bak mandi, pergi dari Jenderal Prayuth ke Jenderal Prawit,” kata Pita kepada wartawan di parlemen.

'Dia masih akan sangat terlibat'

Prayuth memerintah sebagai kepala dewan militer setelah ia menggulingkan pemerintahan terpilih pada 2014, dan menjadi perdana menteri sipil pada 2019, menyusul pemilihan yang diadakan di bawah konstitusi rancangan militer.

Pemilihan umum Thailand berikutnya dijadwalkan pada Mei 2023.

Baca juga: Setelah Tinggal di Singapura, Mantan Presiden Sri Lanka ke Thailand

Tony Cheng, yang melaporkan untuk Al Jazeera dari Bangkok, mengatakan bahwa karena Prayuth juga menteri pertahanan, dia akan tetap terlibat dalam pemerintahan meskipun dia diskors sebagai perdana menteri.

“Dia akan tetap berada di pemerintahan. Dia masih akan menjadi anggota kabinet, dan dia masih akan sangat terlibat.”

Meski demikian menurutnya ini akan tetap dilihat oleh para pengunjuk rasa sebagai sesuatu kemenangan.

“Mereka (oposisi) telah ‘menggerogoti’ posisi Prayuth Chan-ocha selama beberapa tahun sekarang.”

Menurut Cheng, sebelum pengumuman itu dibuat, tidak ada yang berpikir bahwa pengadilan akan langsung menangguhkan Prayuth.

Baca juga: Produsen Mi Instan Thailand Minta Izin Naikkan Harga, Pertama Kali dalam 14 Tahun

Pengadilan pada umumnya mendukung pemerintah ini dan lima dari sembilan hakim tersebut ditempatkan oleh pemerintahan Prayuth.

“Saya pikir ini berkat partai oposisi yang benar-benar berusaha meningkatkan tekanan pada Prayuth. Ada perasaan bahwa pemerintahannya telah salah mengatur urusan tertentu, termasuk penutupan Covid dan diperparah dengan krisis biaya hidup yang memukul banyak suku-suku Thailand.

PM tidak populer

Prayuth Chan-ocha menjabat sebagai panglima militer yang melakukan kudeta militer, menggulingkan pemerintah Yingluck Shinawatra yang terpilih secara demokratis pada 2014.

Dia memimpin pemerintahan junta militer selama lima tahun dan melanjutkan sebagai perdana menteri setelah pemilihan nasional pada 2019.

Aktivis pro-demokrasi telah berkampanye melawan Prayuth dan pemerintahannya, dengan alasan bahwa pemilihan 2019 tidak sah.

Baca juga: Polisi Thailand Tangkap Warga Negara China, Jalankan Studio Porno Ilegal

Dalam permintaan peninjauannya, partai oposisi utama berpendapat bahwa Prayuth harus meninggalkan jabatannya bulan ini, karena waktunya sebagai kepala pemerintahan militer yang merebut kekuasaan harus diperhitungkan dalam masa jabatannya.

Tapi beberapa pendukungnya berpendapat masa jabatannya dimulai pada 2017, ketika konstitusi baru mulai berlaku, atau setelah pemilihan 2019. Artinya dia bisa diizinkan untuk tetap berkuasa hingga 2025 atau 2027, jika terpilih lagi.

Kontroversi tersebut adalah yang terbaru untuk Thailand, Negara Asia Tenggara yang telah mengalami gejolak politik intermiten selama hampir dua dekade, termasuk dua kudeta militer dan protes kekerasan.

Di bawah pengawasan Prayuth, kerajaan Thailand mencatat kinerja ekonomi terburuk dalam 30 tahun dan pemerintahnya juga menghadapi kritik atas penanganan pandemi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com